Advertisement

Responsive Advertisement

MEMAHAMI KENAKALAN REMAJA MASAKINI



Tess Chapin adalah siswi SMA kelas 2 berumur 15 tahun di Manhattan sana. Ia dihukum oleh orang tuanya karena kedapatan mabuk bersama teman-teman sebayanya. Selama 5 minggu ia dilarang menginap diluar, hang-out, pesta ulang tahun dan pesta lain tanpa didampingi orang tua. Ia pun curhat menghiba-hiba lewat facebook berusaha mencari pembelaan. Seorang temannya meluncurkan “gerakan 1000 facebookers untuk menyelamatkan Tess” yang ternyata mengalirkan dukungan yang melimpah termasuk dari putri presiden Obama. Akhirnya Tess dibebaskan orang tuanya pada minggu ke 4 dalam acara Oprah Show di Chicago. Kisah heboh itu diulas Susan Dominus kolumnis New York Times yang menyebutnya sebagai pemberontakan remaja, electronic style –damai, terorganisir dan juga…. menular. Kasus Tess, kecuali sebuah pemberontakan remaja juga memberi contoh betapa anak manis yang polos ketika sendirian, dapat bertindak menyimpang bila berada bersama teman-teman sebayanya. Kita menduga memang ada gejala demikian. Belum lama ini sebuah penelitian di Temple University tentang ”pengambilan risiko dan otak remaja” membuktikannya dengan lebih jelas lagi.

Belasan remaja 14-18 tahun (usia SMA) diminta memainkan video game mengemudi mobil sementara kegiatan otaknya direkam menggunakan scanner. Mereka menerima imbalan uang bila melakukannya lebih cepat. Dalam permainan itu mereka harus mengambil keputusan untuk berhenti dilampu kuning –dengan resiko terlambat- atau melanggarnya agar mencapai finish lebih cepat dan mendapat uang lebih banyak, juga dengan risiko tabrakan yang lebih tinggi dan terlambat lebih lama lagi. Mereka diminta main empat putaran; dua putaran pertama bermain sendirian, dua putaran berikutnya mereka diberitahu bahwa dua teman sebaya mereka ikut menontonnya dari monitor di kamar sebelah. Ternyata ketika mereka merasa ditonton oleh teman sebayanya, mereka melanggar lampu kuning 40% lebih dan menabrak 60% lebihbanyak. Mereka jauh lebih berani untuk mengambil risiko. Hal ini tidak terjadi ketika penelitian dilakukan pada kelompok usia yang lebih tua yaitu mahasiswa dan orang dewasa. Mereka hampir tidak terpengaruh baik bermain sendiri maupun ditonton kerabat sebaya mereka.

Kata Laurence Steinberg pencipta penelitian itu, kehadiran rekan sebaya merangsang wilayah tertentu dalam otak remaja, dan tidak demikian pada orang dewasa. Efek ini katanya, disebabkan karena pertumbuhan otak remaja pada saat akil baligh membuat mereka merasa menjadi pusat perhatian orang lain. Masuk akal mengapa anak remaja melakukan banyak hal-hal penuh risiko dengan teman-teman mereka yang tidak akan dilakukannya ketika sendirian. Bukti juga menunjukkan bahwa remaja memiliki risiko kecelakaan mobil yang lebih tinggi ketika ada remaja lain didalam mobil itu. Penelitian tadi juga membuktikan bahwa hanya dengan diberi tahu bahwa ada teman sebaya yang memperhatikannya, telah meningkatkan kemungkinan tindakan berisiko, apalagi bila mereka benar-benar berkumpul bersama seperti dalam kasus Tess Chapin atau tawuran anak-anak sekolah di Jakarta. Orang tua memang harus ekstra hati-hati mengamati anak-anaknya pada usia remaja. Anak perempuan yang lugu bisa tiba-tiba menjadikan anda berstatus opa dan oma dalam waktu 9 bulan. Mau? Nauzubilah!

Tess yang berhasil memberontak melalui facebook menyadarkan kita bahwa teman-teman sebaya remaja kita juga banyak berasal dari dunia maya. Facebook, twitter, myspace, youtube merupakan tempat “penonton maya” remaja masa kini. Menurut catatan seorang pengamat cukup banyak remaja mengalami kecelakaan hanya karena mencoba sesuatu dengan tujuan untuk direkam dan diposting ke internet. Di youtube saja ada 100 lebih video “ flaming basketball” (basketball menggunakan bola berapi yang menyala) yang banyak mengakibatkan luka bakar pada pemainnya.

Sumber ini Dikutip Oleh Pak Fauzan
Oleh : Bapak Jum'an Basalim
SNS : Facebook