Saya suka dan terbiasa menilai orang dari segi akhlaknya: baik
atau tidak baik. Sayapun ingin mempunyai akhlak dan dinilai baik oleh
orang lain. Kebanyakan kita begitu. Tetapi kita tidak pernah tahu pasti
arti baik yang sebenarnya. Makin luas pengetahuan kita tentang berbagai
hal, kita makin sering meragukan arti kebaikan yang diberikan oleh para
penganjur kebaikan seperti dai dan ulama dan guru. Bahkan banyak yang
merasa bahwa hak seorang ustadz tidaklah lebih dari hak kita dalam
menafsirkan kebenaran dan kebaikan, karena, dalam hal tertentu
pengetahuan kita lebih luas dari pengetahuan mereka. Dulu kita merasakan
akhlak sebagai sesuatu yang mutlak mengikat. Kalau kita melanggarnya
kita akan merasakan akibat sosial, penderitaan emosional dan psikologis,
serasa tidak sanggup hidup kita menanggungnya. Sekarang kita merasakan
akhlak lebih sebagai pilihan yang boleh kita rubah sesuai dengan
tuntutan keadaan. Kita cenderung untuk menyesuaikan arti kebenaran
dengan selera pribadi kita. Yang jika makin banyak orang bersikap
demikian, kita akan semakin jauh dari akhlakul karimah; misi utama yang
diemban oleh Rasulullah. Kita telah berpindah dari budaya akhlak menuju
budaya pribadi. Akhlak membawa pengertian sesuatu yang terukir tajam dan
dalam, tidak berubah dalam segala macam keadaan. Saya bukan mau
mengatakan bahwa kita tidak berakhlak atau jahat tetapi kita cenderung
untuk memahami kebenaran dan kebaikan sesuai dengan selera pribadi kita.
Secara
tradisional saya merasa sebagai penganut madzhab Syafii. Sampai suatu
saat saya bertanya: Kalau untuk suatu masalah saya lebih yakin dengan
pendapat Hanafi, Hambali atau Wahabi bagaimana? Saya tidak dilarang
untuk memilih kan? Suka-suka saya kan? Tetapi dalam banyak hal kita
bukan memilih yang lebih rasional dan meyakinkan, tetapi yang lebih
sesuai dengan kepentingan pribadi kita. Yang lebih mudah mengerjakannya,
lebih ringan risikonya.....lebih memenuhi selera kita. Saya yakin
meberi pengemis tua sebungkus nasi adalah amal baik tetapi anda yang
tidak suka, boleh memilih karena menyantuni pengemis sama dengan
membiarkan orang menjadi malas.
Selalu ada cara untuk
membenarkan pilihan yang mudah. Kebiasaan ini meyebabkan kita dengan
mudah menghindar dari tanggung-jawab mencegah bahkan melaporkan suatu
tindak kejahatan karena kita mempunyai alasan yang membenarkan tindakan
kita. Meskipun kita tahu benar akibat bahayanya bagi masyarakat. Mereka
yang berpegang teguh pada prinsip akhlak pun banyak yang merasa puas
dengan hanya mengamalkannya secara defensif sebatas diri dan keluarganya
tak terlibat kejahatan, sudah cukup. Pada saat yang sama masyarakat
dilanda oleh arus budaya konsumerisme, keserakahan dan kemewahan
narsisme dan ke-akuan yang mengikis batas-batas akhlak. Kita harus
berhenti mengidolakan selebriti kalau ia menebar pornografi. Kita harus
berhenti mempromosikan seseorang kalau ia jelas-jelas terlibat
kejahatan. Iman kita memang kurang kuat mungkin….