PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
TRADISONAL
DALAM PERSEPKTIF PENDIDIKAN
ISLAM INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan
Kepada
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Jember untuk memenuhi Syarat
Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
SUJARI
NIM
:
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
2007 - 2008
HALAMAN
PERSETUJUAN
HALAMAN
PENGESAHAN
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
HALAMAN
MOTTO
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
HALAMAN
PERSEMBAHAN
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
KATA PENGANTAR
ﻢﻳﺤﺭﻟ ﺍ ﻥﻣﺤﺭﻟﺍ ﷲﺍ ﻢﺴﺒ
Ungkapan Syukur yang teramat dalam
dipersembahkan kehaditarat Allah Azza Wajal, karena dengan pertolonganNya,
penulisan skripsi berjudul Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal dalam
Persepktif Pendidikan Islam Indonesia akhirnya dapat diselesaikan sesuai
rencana.
Relevan dengan judulnya, skripsi
ini berupaya mengkaji secara serius Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal
dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia, diharapkan hasil kajian ini selain
bermanfaat sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPdI)
pada program S 1 STAIN Jember, juga mambawa manfaat bagi pihak pihak terkait
sebagai upaya inovasi ilmiyah untuk memperbanyak kazanah keilmuan, sebagai
bahan komparasi, evaluasi dan pengembangan lebih lanjut sekaligus sebagai
masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan kebijakan yang
berkaitan dengan pengembangan Pendidikan Islam.
Penghargaan yang setinggi
tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi
penulisan dan penyelesaian karya ini, terutama kepada :
1. Bapak
Dr. Khusnurridlo, MPd selaku ketua STAIN Jember.
2. Bapak
Drs. Ainur Rafiq, M.Ag dalam kapasistasnya sebagai pembimbing dalam penulisan
skripsi ini.
3. Dan
pihak pihak lain yang terlibat dalam penulisan skripsi ini
Kepada mereka semua disampaikan jazakumulloh khairon katsiro. Namun
demikian tentu saja dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan dan
kekurangan, untuk itu kritik konstruktif selalu diharapkan demi perbaikan
dimasa masa yang akan datang.
Akhirnya hanya kepada Allah diajukan permohonan, semoa karya ini
bermanfaat bagi kita semua, amin
Jember, 17
Juni 2007
Penyusun.
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISONAL
DALAM PERSEPKTIF PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Oleh : Sujari
ABSTRAK
Diakui atau tidak, Pesantren merupakan sebuah
lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia
sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi
signifikan dalam pembangunan bangsa ini, karena itu tak heran bila pakar
pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan
model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi
mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang
berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.
Karena banyak hal yang belum tereksplorasi dari
pendidikan pondok pesantren tradisonal dalam persepktif pendidikan islam
indonesia, maka penelitian ini dilakukan.
Secara spesifik penelitian ini bertujuan
mendiskripsikan Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif
Pendidikan Islam Indonesia, mendiskripsikan visi dan misi pendidikan pondok
pesantren tardisional, mendiskripsikan kurikulum pendidikan pondok pesantren
tradisional, dan mendiskripsikan managemen pendidikan pondok pesantren
tradisional
Hasil
kajian ini selain sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam
(SPdI) di STAIN Jember, juga diharapkan bermafaat bagi pihak pihak terkait
sebagai bahan komparasi, evaluasi dan pengembangan lebih lanjut, sebagai upaya
inovasi ilmiyah untuk memperbanyak kazanah keilmuan juga sebagai masukan dan
bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan kebijakan yang berkaitan dengan
pengembangan pendidikan.
Mengingat
penelitian ini bersifat penelitian pustaka, maka data yang diperlukan
dikumpulkan melalui study dokumentasi.
Hasil
penelitian ini menunjukkan (1) bahwa dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan bagian tak
terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta
didik secara integral, baik kognitif (knowlagde),
afektif (attucude) maupun
psikomotorik (skill), (2) Bahwa visi
dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional dalam persepktif pendidikan
islam indonesia adalah : Pertama,
menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua, pola relasi kiai dengan santri
tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi juga bersifat batiniyah.Ketiga,
pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu ilmu
keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan
menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented
development, Institution development dan Self reliance and sustainability. (3)
Bahwa kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisonal saat ini tidak sekedar
fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan
semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan
pondok pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer. (4) Bahwa dari sisi
managemen kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional saat
ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang
sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model
managemen kolektif seperti model yayasan.
Rekomendasi
dalam skripsi ini adalah (1) karena peran lembaga pendidikan pondok pesantren
tradisional sangat penting dalam menjawab krisis kerohanian manusia modern,
atau paling tidak sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik
dan ketidak jujuran, maka keberadaannya perlu mendapat dukungan yang lebih
serius dari semua pihak. (2) Karena kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan
oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ merupakan aspek utama yang menjadi focus
dari pendidikan pondok pesantren tradisional, maka direkomendasikan kepada
semua pihak untuk terus mengembangkan pendidikan hati demi memperoleh
kesuksesan hidup yang hakiki. (3) Karena aktifitas pendidikan pondok pesantren
tradisional sejak awal kelahirannya mampu berkembang positif di masyarakat
bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi theologis tetapi
juga sosial sebagai lokomotif utama dalam pencerahan masyarakat, maka tentu
saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang patut dilestarikan di bumi
nusantara tercinta ini.
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
2. Alasan pemilihan Judul
3. Penegasan Judul
4. Perumusan Masalah
5. Tujuan penelitian
6. Manfaat penelitian
7. Asumsi dan keterbatasan
8. Metode dan Prosedur Penelitian
9. Sistematika Pembahasan
BAB II
KRANGKA TEORITIK
1. Pendidikan Islam Indonesia
1. Pengertian Pendidikan Islam
2. dasar-dasar Pendidikan Islam
3. Unsur-unsur Pendidikan Islam
1. Tujuan Pendidikan Islam
2. Subjek Pendidikan islam
3. Kurrikulum dan Materi Pendidikan islam
4. Metode, media dan evaluasi
5. Lingkungan pendidikan Islam
2. Pondok Pesantren sebagai lembaga Pendidikan
Islam
1. Pengertian Pondok Pesantren
2. Tipologi pondok pesantren
3. Dinamika pondok pesantren
BAB III
HASIL DAN LAPORAN PENELITIAN
1. Pendidikan pondok pesantren tradisonal
dalam persepktif pendidikan islam indinesia
2. Visi dan misi pondok pesantren dalam
persepktif pendidikan islam indinesia
3. Kurikulum pendidikan pondok pesantren dalam
persepktif pendidikan islam indinesia
4. Manajemen pendidikan pondok pesantren dalam
persepktif pendidikan islam indinesia
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
2. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-lampiran
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan
transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses
pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan,
intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak afinitas dari paidagogik, yaitu
membebaskan manusia secara konfrehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar
dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Hal ini terjadi jika pendidikan dijadikan instrumen oleh
sistem penguasa yang ada hanya untuk mengungkung kebebasan individu. Secara
memis pendidikan yang ada di Indonesia adalah sebagian kecil yang terdesain dan
terorganisir oleh bingkai sistem. Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk
pemaksaan kehendak dan merampas kebebasan individu, kesadaran potensi, beserta
kreativitas bifurkasi. Maka pendidikan telah berubah menjadi instrumen
oppressive bagi perkembangan individu atau komunitas masyarakat (Tilaar, 2004:
58).
Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang
sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan
manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai
kehidupan. Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional
sebagai mana yang tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang
membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan
kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan
menurut Widagdho, manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai
akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia
memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat
material dan bersifat spritual (2001: 8).
Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena
tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup
berkembang sejalan dengan cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan,
sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi
cita-cita manusia semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana
pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat
11:
يرفع الله الدين امنوا منكم
والدين اوتواالعلم درجت
Artinya :
“Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat” (Depag RI, 1974: 911).
Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan
penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan
mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda
kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu
secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan
pendidikan.
Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak
kalangan yang mulai melihat sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu
solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai,
lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat
dimengerti karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan
tercapainya tujuan yang dimaksud.
Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus diseputar
pesantren menunjukkan perkembangkan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari
berbagai focus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian
diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur”
(untuk menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari
pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid
(1984 : 32) Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan
sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri sekaligus membuka diri
terhadap hegemoni eksternal). sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 :
71).
Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik
tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang
cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang
dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang
sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan
pencerahan terhadap masyarakat.
Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga
pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak
ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan
sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga
saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode
zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan
sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat
besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan
terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf
dengan sekolah gubernemen.
Oleh karena itu tak mengherankan bila pakar pendidikan
sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system
pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model
pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter
dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Seandainya Indonesia tidak
mengalami penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan
mengikuti jalur pesantren sebagaimana terjadi di Barat yang hampir semua
universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan perguruan yang semula
berorientasi keagamaan semisal univ. Harvard. Sehingga yang ada bukan UI, ITB,
UGM, UNAIR dan lain sebagainya, tetapi mungkin Univ. Tremas, Univ. Krapyak,
Tebuireng, Bangkalan dan seterusnya.( 1997 : 22)
Yang menarik untuk ditelaah adalah mengapa Pesantren --baik
sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap survive hingga
saat ini ? Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak
akan bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan
kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi
sistem pendidikan umum dan modern.
Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa
sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya mempertahankan
sistem pendidikan pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan
dan kejumuan kaum muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan
sistem pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk
memainkan peran di tengah kehidupan global.
Penilaian psimis ini bila dilacak muncul dari ketidak
akuratan melihat profil Pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren
“hanya sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya” tanpa mengenal lebih
jauh watak watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan selalu
menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau bahkan reduktif.
Dari sinilah peneliti tergelitik untuk melakukan penelitian
terhadap pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan
Islam Indonesia dalam rangka mencari sesuatu yang belum tersentuh dan tidak
terfikirkan oleh sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Penelitian ini bergulat dengan refleksi pendidikan Islam di
Pondok Pesantren tradisional dalam bentuk deskriptif. Salah satu tujuannya
untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan Islam di dunia ini
serta meciptakan pemahaman pendidikan Islam yang lebih progresif konstekstual
sehingga mampu menjawab tantangan zaman.
2.
ALASAN
PEMILIHAN JUDUL
Alasan pemilihan judul ini berawal dari motivasi yang
menyebabkan peneliti mengadakan atau melakukan penelitian dan sebagai upaya
melegitimasi kreteria dalam penelitian. Peneliti akan menguraikan beberapa
alasan argumentatif mengapa peneliti memilih judul “Pendidikan Pondok Pesantren
Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia” yang kemudian
diasimilasikan dengan beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh peneliti.
Dalam ranah penelitian Tarbiyah (ilmu pendidikan), pemilihan
judul ini sebenarnya terdapat beberapa alasan fundamental yang menjadi latar
wacana kajiannya, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara
akademis dan intelektual progresif. Adapun alasan-alasan tersebut sebagai
berikut :
1. Alasan
Objektif
1. Judul
ini menjadi salah satu yang dipilih mengingat peserta didik merupakan salah
satu subjek pendidikan Islam dan merupakan subjek dari sebuah pondok pesantren.
2. Pentingnya
pendidikan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebab
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak muslimnya.
3. Pentingnya
pendidikan Islam di Indonesia bagi kehidupan pluralitas dalam rangka mengubah
paradigma eksklusif menuju paradigma inklusif, demokratis dan progresif sesuai
nilai-nilai agama Islam.
4. Pentingnya
pendidikan Islam yang ada di pondok pesantren tradisional bagi kehidupan
keberagaman dalam rangka mengubah paradigma apatis menuju paradigma
kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan, kebersamaan, dan kebebasan serta sesuai
dengan nilai-nilai agama Islam.
5. Pentingnya
memperkenalkan pendidikan pondok pesantren tradisional terhadap peserta didik,
supaya nantinya menjadi manusia yang kreatif, inovatif, kompetitif, dan penuh
semangat progresifitas.
1. Alasan
Subjektif
1. Judul
di atas sangat menarik dan relevan untuk diteliti serta tidak menyimpang dari
spesialisasi keilmuan dari peneliti pada Jurusan Tarbiyah Program Studi
Pendidikan Agama Islam
2. Tersedianya
literatur-literatur sebagai refrensi untuk dijadikan rujukan penelitian.
3. Kesediaan
dan kesiapan peneliti untuk mengkaji Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional
dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia analisa secara teoritik, reflektif,
dan konsepsional serta hermeneutik.
4. Adanya
manfaat bagi peneliti ataupun pihak lain
5. Adanya
kesediaan dosen pembimbing untuk memberikan arahan, pemikiran dan motivasi
dalam penyusunan skripsi.
6. Adanya
kesanggupan peneliti dan dukungan teman-teman seperjuangan untuk berdiskusi
dalam meneliti Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif
Pendidikan Islam Indonesia
3.
PENEGASAN
JUDUL
Guna menghindari kesalah pahaman penafsiran terhadap judul
penelitian yang akan dilaksanakan, berikut ini akan ditegaskan makna setiap
kata dalam judul penelitian antara lain :
1. Pendidikan
Pondok Pesantren Tradisional
Secara realistis pondok pesantren tradisional masih tetap
eksis mempertahankan aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab kuning yang
ditulis oleh ulama’ abad XV dengan menggunakan bahasa arab.
Banyak pakar merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan
pendidikan pondok pesantren. Menurut pendapat Djamil Suherman dan Umi Kulsum,
pendidikan pondok pesantren adalah institusi-institusi yang terkenal dengan
ajaran-ajaran agama Islam melalui kitab kuning (klasik) yang metode
pengajarannya memakai sistem sorogan, wetonan, bandongan, dan hapalan.
(Al-‘Adalah,2003:17)
Sebagaimana telah diketahui, pondok pesantren tradisional
adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu mengalami perkembangan bentuk
sesuai dengan perubahan zaman. Terutama adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang membawa trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini
pondok pesantren bukan berarti telah hilang kekhasannya. (Al-‘Adalah,2003:18)
Maka dalam hal ini, pendidikan pondok pesantren tradisional
merupakan suatu wadah untuk mengembangkan pola pendidikan yang seluruh aturan
mainnya tergantung kepada sosok figur seorang kiai, baik kurikulum, metode dan
pengajarannya. Sedangkan penerapan nilai-nilainya tidak pernah mengalami
pergeseran, meskipun terjadi perubahan pengetahuan dan teknologi.
2. Perspektif
Perspektif adalah suatu cara untuk melukiskan benda pada
permukaan yang mendatar sebagaimana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi
(panjang, lebar dan tinggi), sudut pandang.
3. Pendidikan
Islam Indonesia
Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat
memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya, sesuai dengan
cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya.
Pendidikan Islam bila dilihat dari segi kehidupan kultural
umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan
(enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Pendidikan Islam adalah proses
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan anak didik agar
menjadi manusia dewasa. (Arifin,2000:10-16)
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Islam adalah
sebagai suatu bentuk perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal
perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, dan bukan
sekedar bersifat teoritis akan tetapi juga praktis, serta merupakan suatu
kolaborasi antara pendidikan iman dan pendidikan amal. (1996:28)
Pendidikan
Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi
pembangunan pendidikan nasional, serta sebagai amanat sejarah untuk dipelihara
dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa kemasa.
Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia,
pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih individual. Maka dari pada
itu pendidikan Islam di Indonesia dimulai oleh para tokoh agama dengan
mendekati masyarakat secara persuasif dan memberikan pengertian tentang
dasar-dasar agama Islam yang memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan
langgar mulailah secara bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca
al-Qur’an serta wawasan keagamaan.
Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan
pendidikan bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian
pesantren. (muncul pada abad XIII dan mencapai perkembangannya yang optimal
pada abad XVIII). (Rahim,2001:06)
Pendidikan
Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada
tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif
antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim
terbentuk disuatu daerah tersebut tentu mereka membangun tempat peribadatan
dalam hal ini masjid.
Sesuai dengan gencarnya pembaruan pemikiran Islam yang
dicanangkan oleh para pembaharu muslim diberbagai negara sampai juga gaung
pembaruan itu di Indonesia. Dalam hal ini ide-ide pembaruan pendidikan di
Indonesia mulai muncul diawal abad ke XX, disebabkan banyaknya orang yang tidak
puas dengan sistem pendidikan yang berlaku saat itu. Karenanya ada beberapa
sisi yang perlu diperbaharui, yakni dari segi isi (materi), metode, sistem dan
manajemen. (Daulay,2004:45-46)
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
4.
PERUMUSAN
MASALAH
Maka untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya
sistematika analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga
pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar
terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak fokus dan tidak ada
relevansinya. Dengan demikian penelitian apapun dilaksanakan karena terdapat
permasalahan yang membutuhkan solusi, sebab tanpa adanya permasalahan tidak ada
akan mungkin melakukan suatu penelitian.
Berdasarkan pernyataan di atas penelitian ini dilaksanakan
karena peneliti melihat pentingnya pendidikan pondok pesantren tradisional
berkembang sesuai dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Agar lebih mudah
dan sistematis, serta dipahami maka peneliti akan merumuskan beberapa kerangka
permasalahan antara lain :
1.
Pokok
Masalah
Bagaimanakah
Pendidikan Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia ?
1.
Sub
Pokok Masalah
1. Bagaiamanakah
visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional?
2. Bagaiamana
kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional?
3. Bagaimana
managemen pendidikan pondok pesantren tradisional?
5.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penelitian secara substansial adalah memecahkan
masalah-masalah sebagaimana yang telah dirumuskan sebelumnya (STAIN, 2002: 10).
Maka dari rumusan itulah akan terdapat sesuatu yang menunjukkan perolehan pasca
penelitian. Secara umum, karena objek penelitian adalah pendidikan yang
mengarah terhadap nilai-nilai Islam. Maka yang menjadi tujuan untuk mengetahui
dan memahami yang kemudian di deskripsikan rumusan tersebut, sehingga akan
menghasilkan yang orisinil dan dapat menghasilkan solusi yang baik dan positif
(Bisri, 2004: 203).
Berdasarkan pada perumusan permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian pada dasarnya harus sinkron antara tujuan dengan upaya-apaya
pemecahan problematika yang telah dirumuskan. Maksudnya adalah agar tidak ada
penyimpangan dalam menciptakan problem solver yang telah disistematikan dengan
tujuan penelitian (STAIN, 2002: 10). Maka dalam tujuan penelitian ini penulis
membagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
1.
Tujuan
Umum
Untuk
mendiskripsikan bagaimanakah Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam
Perspektif Pendidikan Islam Indonesia
2.
Tujuan
Khusus
1. Ingin
mendiskripsikan visi dan misi pendidikan pondok pesantren tardisional
2. Ingin
mendiskripsikan kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional
3. Ingin
mendiskripsikan managemen pendidikan pondok pesantren tradisional
6.
MANFAAT
PENELITIAN
Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat yang
baik bagi peneliti, pihak STAIN Jember, praktisi, pengelola pendidikan dan
masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi
Peneliti
1. Untuk
menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan Islam yang mengacu kepada
realitas empiris
2. Sebagai
modal dasar penelitian pendidikan pada tataran lebih lanjut.
1. Bagi
Lembaga STAIN Jemebr
1. Sebagai
Barometer interdisipliner keilmuan dan kualitas mahasiswa dalam bidang
pendidikan
2. Untuk
menambah perbendaharaan kepustakaan Tarbiyah
3. Bagi
Praktisi Pendidikan
Menjadi
bahan pijakan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang mengacu pada
realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
1. Bagi
Pengelola Pendidikan
1. Terciptanya
pola pendidikan yang sesuai dengan agama Islam
2. Menjadi
bahan masukan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang memahami
realitas, sosio-kultur di tengah pendidikan.
1. Bagi
Masyarakat
1. Untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan Islam
2. Penelitian
ini diharapkan dapat berguna bagi lapisan masyarakat sebagai wawasan
pengetahuan pendidikan yang memanusiakan manusia
3. Adanya
interaksi yang sehat antara masyarakat mayoritas dan minoritas dalam kehidupan
beragama, berbangsa, dan bernegara.
----------------------------------[boleh di rubah semau anda]-----------------------------
7.
ASUMSI
DAN KETERBATASAN
1. Asumsi
Pendidikan pada saat ini masih diyakini sebagai satu-satunya
sarana dalam menanamkan moral, budi pekerti, dan emosional pada calon generasi
penerus bangsa. Pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan suatu wadah
pendidikan yang berciri khas unik dan merupakan pendidikan asli Indonesia.
Maka dari itu, pendidikan pondok pesantren tradisional sangat
signifikan adanya di dalam menanamkan kesadaran, baik secara nyata, potensi dan
kultural. Melalui pendidikan pondok pesantren tradisional peserta didik diajak
untuk mampu memahami realitas pendidikan Islam pada dasarnya dengan berbagai tahapan
dan sesuai dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Secara tidak langsung
pendidikan pondok pesantren tradisional mengajarkan beberapa pelajaran yang
bernuansakan bahasa arab dengan memakai kitab klasik (kuning) ini tidak
terlepas dari suatu tuntutan di dalam memahami ajaran agama Islam.
Secara substansial untuk bisa memahami al-Qur’an dan
al-Hadist ini harus mampu, mengetahui dan memahami instrumennya terlebih dahulu
(ilmu sorrof dan nahwu), juga agar lebih mudah mengkaji, serta mendiskripsikan
sesuatu yang relevan antara realitas dengan al-Qur’an dan al-Hadist.
Lebih dari itu, dalam proses penanaman kesadaran pada peserta
didik semua elemen berperan penting, baik di dalam maupun di luar pesantren.
Oleh karena itu, peserta didik dituntut untuk mampu berinteraksi, komunikasi
dan mampu memahami kebutuhan yang muncul di dalam maupun di dalam pesantren.
Dalam hal ini sosok seorang figur kiai atau ustadz dan orang
tua dituntut untuk mampu memberikan bimbingan, kontrol, pengawasan dan mampu
bersikap objektif dalam memberikan pemahaman terhadap peserta didik.
Dengan demikian, peranan pendidikan pondok pesantren
tradisional ini adalah merupakan suatu wadah warisan yang harus dipelihara dan
dikembangkan, karena pendidikan pondok pesantren tradisional sebagai cerminan
munculnya pendidikan Islam di Indonesia.
2. Keterbatasan
Dalam melaksanakan penelitian, banyak sekali kendala yang hal
tersebut berpengaruh terhadap jalannya proses penelitian. Kendala tersebut
antara lain :
1. Hasil
penelitian belum teruji mengingat masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka mengimplementasikan konsep pendidikan pondok pesantren tradisional
dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, sebagai contoh : implementasi
pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia di sebuah lembaga pendidikan, secara otomatis merubah kurikulum yang
telah ada dan telah dijadikan acuan dalam proses belajar mengajar.
2. Kurangnya
refrensi atau literatur yang berkenaan dengan teori pendidikan pondok pesantren
tradisional, hal itu sangat penting sekali sebagai pijakan dan pedoman dalam
merumuskan suatu konsep pemikiran.
8.
METODE
DAN PROSEDUR PENELITIAN
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
kualitatif. Hal ini merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan
pada penalaran yang berdasarkan realitas sosial secara objektif dan melalui
paradigma fenomenologis, artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan: pertama, untuk mempermudah pemahaman
realitas ganda. Kedua, menyajikan
secara hakiki antara peneliti dan realitas; ketiga,
metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang
dihadapi. (Moleong, 2001:5)
1.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
liberary research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan
data-data kepustakaan sebagai teori untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh
hipotesa dan konsepsi untuk mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini
informasi dapat diambil secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam
penelitian sebagai instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian
(Subagyo, 1999: 109).
Peneliti dalam jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi
yang di dasarkan pada data-data yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif
dan imajinatif. Hal ini sebagai bentuk komparasi terhadap satu konsepsi
pemikiran dengan yang lain secara produktif dengan tidak meninggalkan dasar
ilmiah.
Dalam liberary reseach peneliti lebih terfokus dan berhadapan
langsung dengan teks literatur yang relevan tanpa mencari data kemana-mana.
Sehingga peneliti hanya melakukan penelitian melalui literatur-literatur yang
ada di perpustakaan (Zed, 2004: 4).
2.
Pendekatan
Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis
pendekatan penelitian yang tidak melibatkan perhitungan (Moleong, 2001: 2),
atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter
alamiah sumber data. Sedangkan menurut Bagdan dan Taylor dalam buku panduan
STAIN “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku
yang dapat diamati” (2002:19)
Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila
terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman
pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian
dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi
logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis (Moleong, 2001: 5). Berbeda
dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan
prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.
3.
Jenis
dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang bersifat tektual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang
akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi,
pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan
pembahasan. Oleh karena itu, data yang akan diambil dan dikaji berasal dari
data verbal yang abstrak kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain
:
1.
Data
Primer
Sumber
data primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa
terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali
kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan
ilmiah.
2.
Data
Sekunder
Sumber
data sekunder, ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang
mendukung sumber primer yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai
penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti
4.
Metode
Analisis Data
Analisa data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan
apa yang di peroleh dari suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk
memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui
kerangka berfikir peneliti ( Bisri, 2004: 228).
Adapun
metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Analisis
Reflektif
Metode analisa data yang berpedoman pada cara berfikir
reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir
deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik
secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).
Dalam metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah
dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan
kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada
penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.
2. Content
Analisis
Content analisis atau di sebut dengan analisis isi adalah
suatu metode untuk memahami wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana
tersebut ( Musyarofah, 2002: 15). Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis
data, content analisis di artikan pula dengan analisis data deskriptif
berdasarkan isinya ( Suryabrata, 1998: 85).
Jadi peneliti dalam metode ini akan menganalisa data
berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pendidikan pondok pesantren
tradisional.
9.
SISTEMATIKA
PEMBAHASAN
Guna mensistematiskan pembahasan berikut ini adalah
sistematika pembahasan, antara lain :
BAB I, Memuat tentang latar belakang
dilaksanakannya penelitian ini beserta seperangkat prosedur dan metode
penelitian.
BAB II, Memuat tentang kerangka
teoritik yang selanjutnya menjadi frame work dalam perumusan konsep pemikiran
BAB III, Membahas tentang konsep pendidikan pondok pesantren tradisional
dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia
BAB IV, Memuat kesimpulan tentang pendidikan pondok pesantren dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia.
BAB II
BAB II
KERANGKA
TEORITIK
1.
Pendidikan
Islam Indonesia
1. Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam, yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian
lain Pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian
muslim. kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan
memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang
bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat
tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan
ajaran Allah (Djamaluddin, 1999: 9).
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Djamaluddin
(1999), Pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki empat macam fungsi
yaitu :
· Menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada
masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup
masyarakat sendiri.
· Memindahkan
ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari
generasi tua kepada generasi muda.
· Memindahkan
nilai-nilai yang bertujuan untuk memilihara keutuhan dan kesatuan masyarakat
yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban.
· Mendidik
anak agar beramal di dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.
An-Naquib Al-Atas yang dikutip oleh Ali, mengatakan
pendidikan Islam ialah usaha yang dialakukan pendidik terhadap anak didik untuk
pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan
tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan (1999: 10 ).
Adapun Mukhtar Bukhari yang dikutip oleh Halim Soebahar,
mengatakan pendidikan Ialam adalah seganap kegiatan yang dilakukan seseorang
atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah
siswa, dan keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkannya program
pendidikan atau pandangan dan nilai-nilai Islam (2002: 12).
Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
mengejewantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya
maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan (Soebahar, 2002: 13).
Kendati dalam peta pemikiran Islam, upaya menghubungkan Islam
dengan pendidikan masih diwarnai banyak perdebatan, namun yang pasti relasi
Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang, mereka sejak awal mempunyai
hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistimologis
maupun aksiologis.
Yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah : pertama, ia merupakan suatu upaya atau
proses yang dilakukan secara sadar dan terencana membantu peserta didik melalui
pembinaan, asuhan, bimbingan dan pengembangan potensi mereka secara optimal,
agar nantinya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai
keyakinan dan pandangan hidupnya demi keselamatan di dunia dan akherat. Kedua, merupakan usaha yang sistimatis,
pragmatis dan metodologis dalam membimbing anak didik atau setiap individu
dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam secara utuh, demi
terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran islam. Dan ketiga, merupakan segala upaya pembinaan
dan pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan mengikuti jalan yang islami
demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Menurut Fadlil Al-Jamali yang dikutip oleh Muzayyin Arifin,
pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang
baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar
(fitroh) dan kemampuan ajarnya (2003: 18).
Maka dengan demikian, pendidikan Islam dari beberapa
pengertian di atas penulis menyimpulkan, bahwa pendidikan Islam sebagai usaha
membina dan mengembangkan pribadi manusia, baik dari aspek rohaniah, jasmaniah,
dan juga harus berlangsung secara hirarkis. oleh karena itu, pendidikan Islam
merupakan suatu proses kematangan, perkembangan atau pertumbuhan baru dapat
tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan
transformatif dan inovatif.
Pendidikan islam sebagaimana rumusannya diatas, menurut Abd
Halim Subahar ( 1992 : 64) memiliki beberapa prinsip yang membedakannya dengan
pendidikan lainnya, antara lain :
· Prinsip
tauhid
· Prinsip
Integrasi
· Prinsip
Keseimbangan
· Prinsip
persamaan
· Prinsip
pendidikan seumur hidup, dan
· Prinsip
keutamaan.
Sedangkan tujuan pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
· Untuk
membentuk akhlakul karimah.
· Membantu
peserta didik dalam mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotori guna
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai pedoman hidupnya
sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir, pola laku dan sikap mental.
· Membantu
peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin dangan membentuk mereka
menjadi manusia beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, berkepribadian integratif, mandiri dan menyadari sepenuhnya
peranan dan tanggung jawab dirinya di muka bumi ini sebagai abdulloh dan
kholifatulloh.
Dengan demikian, sesungguhnya pendidikan islam tidak
saja fokus pada education for the brain,
tetapi juga pada education for the heart.
Dalam pandangan islam, karena salah satu misi utama pendidikan islam adalah
dalam rangka membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin, maka ia
harus seimbang, sebab bila ia hanya focus pada pengembangan kreatifiats
rasional semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional, maka manusia tidak akan
dapat menikmati nilai kemajuan itu sendiri, bahkan yang terjadi adalah
demartabatisasi yang menyebabkan manusia kehilangan identitasnya dan mengalami
kegersangan psikologis, dia hanya meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam
etik.
Demikian pula pendidikan islam mesti bersifat
integralitik, artinya ia harus memandang manusia sebagai satu kesatuan utuh,
kesatuan jasmani rohani, kesatuan intelektual, emosional dan spiritual,
kesatuan pribadi dan sosial dan kesatuan dalam melangsungkan, mempertahankan dan
mengembangkan hidup dan kehidupannya.
2. Dasar-Dasar
Pendidikan Islam
Dalam setiap aktivitas manusia sebagai instrumen transformasi
ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagai agen perubahan sosial, pendidikan
memerlukan satu landasan fundamental atau basik yang kuat. Adapaun dasar yang
di maksud adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas pendidikan yang wajib
bersandar pada landasan dasar sebagaimana yang akan dibahas dalam bagian
berikut ini.
Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas
yang bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yang utuh, paripurna atau
syumun, memerlukan suatu dasar yang kokoh. kajian tentang pendidikan Islam
tidak lepas dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu :
· Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan
oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang
dapat dikembangkan untuk keperluan aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang
berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah dan yang berhubungan
dengan amal disebut syari’ah. Oleh karena itu pendidikan Islam harus
menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber dalam merumuskan berbagai teori tentang
pendidikan Islam sesuai dengan perubahan dan pembaharuan (Darajat, 2000: 19).
· As-Sunnah
As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan rasul.
Yang di maksud dengan pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain
yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau
perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an
yang juga sama berisi pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.
Untuk itulah rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama.
Maka dari pada itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara
pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran
berkembang. Itulah sebabnya mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam
memahaminya termasuk yang berkaitan dengan pendidikan. As-Sunnah juga berfungsi
sebagai penjelasan terhadap beberapa pembenaran dan mendesak untuk segara
ditampilkan yaitu :
1. Menerangkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
2. Sunnah
mengkhitmati Al-Qur’an.
· Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqoha, yaitu berfikir dengan
menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk
menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syara’ dalam hal-hal yang ternyata
belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dengan demikian
ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk
aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Oleh karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber
hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah rasul Allah wafat.
Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang
senantiasa berkembang. Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan dengan
perkembangan zaman yang semakin maju bukan saja dibidang materi atau isi,
melainkan juga dibidang sistem.
Secara substansial ijtihad dalam pendidikan harus tetap
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para
ahli pendidikan Islam.
· Al-Kaun
Maksud Allah menurunkan ayat kauniyah tersebut yaitu untuk
mempermudah pemahaman manusia terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat
mengakui kebesarannya seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Ar- Ra’du
ayat 3 yang berbunyi :
وهوالدي مد الارض وجعل فيها روسي وانهرا ومن
كل الثمرت جعل فيها زوجين اثنين يغش اليل النهارا ن في دلك لايت لقوم يتفكرون
Artinya : “Dialah Tuhan yang mmembentangkan bumi dan menjadikan
gunung-gunung, sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya buah-buahan
berpasang-pasangan. Allah jualah yang menutup malam kepada siang sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang
berfikir” (Depag RI, 1992: 368).
Berdasarkan firman Allah di atas, bahwa setiap orang berfikir
harus mengakui kebesaran Allah dan hal ini relevan untuk dijadikan dasar dalam
pendidikan Islam.
3. Unsur-Unsur
Pendidikan Islam
Dalam implementasinya, fungsinya, pendidikan Islam sangat
memperhatikan aspek yang mendukung atau unsur yang turut mendukung terhadap
tercapainya tujuan dari pendidikan Islam. Adapun aspek atau unsur-unsur
tersebut adalah :
1. Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Fadlil Aljamali yang dikutip oleh Abdul Halim
Soebahar sebagai berikut: Pertama,
mengenalkan manusia akan perannya diantara sesama (makhluk) dan tanggung jawab
pribadinya. Kedua, mengenalkan
manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawab dalam tata hidup
bermasyarakat. Ketiga, mengenalkan
manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya
serta memberi kemungkinan untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat, mengenalkan manusia akan
pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya (2002: 19-20).
Tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya pengajaran,
pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya. Sedangkan
menurut Zakiyah Dzarajat tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk insan kamil
dengan pola taqwa dapat mengalami perubahan, bertambah dan berkurang dalam
perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itulah tujuan pendidikan Islam itu
berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan
mempertahankan (2000: 31).
Hal yang sama pula tujuan pendidikan Islam dapat dipahami
dalam firman Allah :
يايهاالدين امنوا اتقوا الله حق تقاته
ولاتموتن الا وانتم مسلمون
Arinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya taqwa; dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
muslim (QS. 3 Ali-Imron: 102).
Sedangkan menurut Ahmad D Marimba yang dikutip oleh Halim
Soebahar, menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya muslim.
Dan menurutnya bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup setiap muslim.
Adapun tujuan hidup seorang muslim adalah menghamba kepada Allah yang berkaitan
dengan firman Allah Surat Dzariat 56 yang berbunyi :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
Artinya: “Dan aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan
untuk meyembah-Ku”.
Dan masih banyak beberapa deskripsi yang membahas tentang
tujuan pendidikan Islam seperti konfrensi pendidikan di Islamabat tahun 1980,
bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup
pengembangan kepribadian muslim secara meyeluruh yang harmonis yang berdasarkan
fisiologis dan psikologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus
berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah muslim yang
paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah sebagaimana firman Allah
Surat Al-An’am Ayat 162:
قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب
العلمين
Artinya:
“Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah,
tuhan semesta alam”. Imam Al-Ghazali mengatakan tujuan penddikan Islam adalah
untuk mencapai kesempurnaan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah dan
bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Langgulung, 1990: 9).
Maka dari pada itu, tujuan pendidikan Islam dirumuskan dalam
nilai-nilai filosofis yang termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti
halnya dasar pendidikannya, maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan
tujuan Islam itu sendiri. Sedanagkan Muhammad Umar Altomi Al-Zaibani yang
dikutip oleh Djalaluddin, mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah untuk
mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak ul karimah. Tujuan ini
sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulann yaitu
“membimbing manusia agar berakhlak mulia”. (2001: 90).
Maka dengan demikian tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan
deskripsi di atas ialah menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia
terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, kesadaran selaku anggota masyarakat
yang harus meiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya,
serta menanamkan kemampuan manusia untuk menolak, memanfaatkan alam sekitar
sebagai ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia, dan kegiatan
ibadahnya kepada pencipta alam itu sendiri.
Telah kita ketahui, bahwa dasar tujuan pendidikan ditiap-tiap
negara itu tidak selalu tetap sepanjang masa, melainkan sering mengalami
perubahan atau pergantian, sesuai dengan perkembangan zaman. Perumbakan itu
biasanya akibat dari pertentangan pendirian atau ideologi yang ada di dalam
masyarakat itu. Hal ini kerap kali terjadi lebih-lebih di negara yang belum
stabil kehidupan politiknya, karena mereka yang bertentangan itu sadar bahwa
pendidikan memegang peranan penting sebagai generasi bangsa.
Sama halnya dengan tujuan pendidikan di Indonesia juga selalu
berubah-rubah, dikarenakan kondisi dan situasi politiknya tidak stabil. Hal ini
dibuktikan mulai tahun 1946 sampai pada saat sekarang. Dengan demikian tujuan
pendidikan itu tidak berdiri sendiri, melainkan dirumuskan atas dasar hidup
bangsa dan cita-cita negara dimana pendidikan itu dilaksanakan. Sikap hidup itu
dilandasi oleh norma-norma yang berlaku bagi semua warga negara.
Oleh karena itu, sebelum seseorang melaksanakan tugas kependidikannya,
terlebih dahulu harus memahami falsafah negara, supaya norma yang melandasi
hidup bernegara itu tercermin dari tindakannya, agar pendidikan yang diarahkan
kepada pembentukan sikap posisi pada peserta didik hendaknya diperhitungkan
pula bahwa manusia muda (peserta didik) itu tidak hidup tersendiri di dunia
ini. (Uhbiyati, dkk,2001:135-139)
2. Subjek
Pendidikan.
Subjek pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan
proses pendidikan dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik yaitu
pihak yang merupakan sabjek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan
atau tindakan pendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak
didik kepada tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. Dalam PPRI No. 19
tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan peserta didik ialah anggota masyarakat yang berusaha menyumbangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan tertentu (PPRI, 2005: 12)
Pendidik atau guru secara implisit ia telah merelakan dirinya
dan memikul dan menerima sebagai tanggung jawab pendidikan yang terpikul
dipundak pada oranag tua. (Dzarajat, 2000: 39)
Maka dengan demikian subjek pendidikan Islam yaitu semua
manusia yang berproses dalam dunia pendidikan baik formal, informal maupunn
nonformal yang sama-sama mempunyai tujuan demi pengembangan kepribadiannya.
Sehingga menjadi insan yang mempunyai kesadaran penuh kepada sang pencipta.
3. Kurikulum
dan Materi.
Hal penting yang perlu diketahui dalam proses belajar
mengajar atau proses kependidikan dalam suatu lembaga adalah kurikulum (Arifin,
2003: 77).
Menurut Soedijarto yang dikutip Khoiron Rosyadi mengartikan
kurikulum dengan lima tingkatan, yaitu : Pertama,
sebagai serangkaian tujuan yang menggambarkan berbagai kemapuan
(pengetahuan dan keterampilan), nilai dan sikap yang harus dikuasi dan dimiliki
oleh peserta didik dari suatu satuan pendidikan; Kedua, sebagai kerangka materi yang memberikan gambaran tentang
bidang-bidang study yang harus dipelajari oleh peserta didik untuk menguasai
serangkaian kemampuan, nilai dan sikap yang secara institusional harus dikuasi
oleh peserta didik setelah selesai dengan pendidikannya; Ketiga, diartikan sebagai garis besar materi dari suatu bidang study
yang telah dipilih untuk dijadikan objek belajar. Keempat, adalah sebagai panduan dan buku pelajaran yang disusun
untuk menunjang terjadinya proses belajar mengajar; Kelima, adalah sebagai bentuk dan jenis kegiatan belajar mengajar
yang dialami oleh para pelajar, termasuk di dalamnya berbagai jenis bentuk dan
frekuensi evaluasi yang digunakan sebagai bagian terpadu dari strategi belajar
mengajar yang direncanakan untuk dialami para pelajar. (2004:243-244)
Oleh karena, itu kurikulum menggambarkan kegiatan belajar
mengajar dalam suatu lembaga kependidikan tidak hanya dijabarkan serangkai ilmu
pengetahuan yang harus diajarkan pendidik kepada anak didik, dan anak didik
mempelajarinya. Tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang
dipandanag perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan Islam. Adapun pengertian kurikulum secara etimologi
berasal dari bahasa latin, (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan
olahraga), kemudian yang dialihkan kedalam pengertian pendidikan menjadi suatu
lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya. Dan secara
termenologi adalah menunjukkan tentang segala mata pelajaran yang dipelajarai
dan juga semua pengalamam yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang harus
dilakukan anak.
Adapun yang dimaksud dengan materi yaitu bahan-bahan atau
pengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedemikian rupa atau
disampaikan kepada anak didik.(Uhbiyati, 2003:14)
Materi dan kurikulum memiliki keterkaitan atau depadensi yang
sangat erat mengingat meteri merupakan integral dari kurikulum, dan pencapaian
materi secara sistematis diatur dari kurikulum yang ada.
4. Metode,
Media, dan Evaluasi.
Metode merupakan instrumen dan dipergunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan atau alat yang mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat
polipragmatis dan monopragmatis. Oleh karena itu, metode dalam pengertian
litter lijk, kata “metode” berasal dari bahasa grek yang terdiri dari meta yang
berarti “melalui”, dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti “jalan
yang dilalui”. Maka secara umum metode diartikan sebagai cara mengerjakan
sesuatu, cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. atau metode juag dapat
diartikan sebagai cara untuk mempermudah pemberian, pemahaman kepada anak didik
mengenai bahan atau materi yang diajarkan. (Arifin, 2003: 89)
Media, menurut gerlach dan Eli sebagaimana dikutip Azhar
Arsyad, mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah
manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap (1996: 1)
Jadi media merupakan sarana untuk mempermudah pemberian
pemahaman kepada peserta didik.
Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang
pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang
dibuat dalam merancang suatu sistem pengajaran atau yang dimaksud evaluasi
dalam pendidikan Islam adalah merupakan cara atau teknik penilaian terhadap
tingkah laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat
komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental psikologis dan spritual
religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang
tidak hanya bersikap religius melainkan juga berilmu dan berketarampilan yang
sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya. (Arifin, 2000:
238)
Dalam rangka menilai keberhasilan pendidikan, evaluasi
penting untuk dilaksanakan karena sebagai pijakan dalam merumuskan
program-program pendidikan yang akan datang.
5. Lingkungan.
Lingkungan ialah sesuatu yang berada diluar diri anak dan
mempengaruhi perkembangannya. Lingkungan sendiri dibagi tiga macam yang
keseluruhannya mendukung terhadap proses implementasi pendidikan Islam,
misalnya masyarakat, sekolah, dan keluarga. Dalam arti yang luas lingkungan
mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan,
pendidikan dan alam. Oleh karena itu, dengan kata lain lingkungan ialah segala
sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang.
(Daradjat, 2000: 63)
Jadi lingkungan mempunyai andil yang sangat signifikan dalam
pembentukan sikap dan prilaku yang pada akhirnya akan membentuk sebuah
kepribadian yang sempurna.
2.
Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian
Pondok Pesantren
Pengertian pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan
pe-dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang
dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren berasal dari kata santri
yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren
mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang
mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27).
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan
sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji.
Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para
santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab
klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara
detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan
pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena, 2005: 72).
Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan
batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi
ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren
belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur
untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (Artikel, 1).
Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman,
definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada
tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan
tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional tidak lagi selamanya benar.
2. Tipologi
Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan
pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami
perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan
seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasanya
ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologinya yaitu :
1. Pesantren
Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan
kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode
sorogan dan weton.
2. Pesantren
Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi),
memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan
keterampilan.
3. Pesantren
Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini
menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya
terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan
dipesantren kilat.
4. Pesantren
terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional
atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja,
dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari
kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau
model pondok pesantren yaitu :
1. Pesantren
yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang
diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari
kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad
pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang,
seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah
Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2. Pesantren
yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum
yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang
ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak
mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren
yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah
(sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah
(sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang
sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan
meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa
Timur adalah contohnya.
4. Pesantren
yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar
disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama
dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti
oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak
jumlahnya. (2002:149-150)
3. Dinamika
Pondok Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga penidikan yang terutama
berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak
sekitar abad ke 18. seiring denga perjalanan waktu, pesantren sedikit demi
sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan serta
dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan
pesantren untuk mendinamisir, dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan
masyarakatnya.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di
Indonesia ini tampak dalam beberapa hal, seperti :
1. Peningkatan
secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa
pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah
tersebut menjadi 5661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981, kemudian
meningkat menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta orang pada
tahun 1985.
2. Kemampuan
pesantren untuk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami
berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun
dana, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang
berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga
mampu mendinamisir dirinya ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara
sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang
dibutuhkan masyarakat. (Khozin,2006:149)
Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan
bertahan ditengah perubahan, tidak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren
untuk bersaing dalam memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan
(1992), bahwa dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara
drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktornya, adalah lapangan pekerjaaan
“modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di
sekolah-sekolah umum. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah
lebih memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan nasional, dengan
membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan
tinggi.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa
pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya
secara turun temurun, tanpa perubahan dan inprovisasi yang berarti kecuali
sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri,
dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat.
Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya, berdasarkan
pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Maka dari pada itu, apapun motifnya perbincangan seputar
dinamika pesantren memang harus diakui mempunyai dampak yang besar contohnya
semakin dituntut dengan adanya teknologi yang canggih pesantrenpun tidak
ketinggalan zaman untuk selalu mengimbangi dari setiap persoalan-persoalan yang
terkait dengan pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri, mulai
dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam
pesantren itu sendiri, bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karenanya
pesantren tidak akan pernah mengalami statis, selama dari setiap unsur-unsur
pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik, apa yang paling
aktual. (Mas’ud dkk, 2002:72-73)
BAB III
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DALAM
PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang
mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan
dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab
berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang
menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub
ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih
menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun
sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak
terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta
didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun
psikomotorik (skill)
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang
khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski
mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun
tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa
diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah
masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di
Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas persantren untuk menjadi agent of change
sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan
diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di
contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak
pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah
tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang
berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama
dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau
sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara
pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola
hidup dimasyarakat.
Meskipun dalam melakukan pemecahan masalah masalah sosial
masyarakat sekitarnya, pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti
yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal
saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman keberagamaan sang kyai,
tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup masyarakat tidak dapat
disangsikan. Keunggulan keunggulan itu sesunggunhnya merupakan kekayaan Bangsa
ini yang jika kian mendapat dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak
dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi
mutiara yang sangat berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu
sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai
pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga
pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat
beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1. Di
Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan
pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas.
Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.
2. System
kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali
mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang
tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam
merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim
as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana
benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga,
ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang
layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut
menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4. Sistem
pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat
memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki
beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman
pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian
/ budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi
sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar
mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang
terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi
sekeder transfer ilmu pengetahuan.
Meskipun dipesantren, santri lebih mengutamakan capaian
substansial keilmuannya ketimbang capaian capaian formal, akan tetapi tetap ada
tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning,
yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap
teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau
bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah
dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik
merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam
rangka menjawab berbagai tantangan global.
Kultur belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan
sebagai kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama
dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi (1993 : 11)
karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan
masyarakat islam zaman kemandegan Pertengahan abad ke 13 M.
Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi atau frem
yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu
bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran
(ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari
sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul
persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari
bawah, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya
ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas, tetapi juga
termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala sesuatu yang
terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti dilakukan
seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual yang
kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian
(riyadhah) secara intensif dan benar.
Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami
bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan
jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya
kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi
demikian signifikan dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan
bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan
sebujur mayat ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan
melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih
di jaman serba canggih ini.
Dipesantren, lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan
memahami dan menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan mengingat dan
menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan
kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan , maka dengan
sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai.
Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada
proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan
tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur yang dikaji jangan hanya terbatas pada kitab
yang sudah menjadi barang jadi, seperti, fahtul muin, fathul wahab, tetapi
diprioritaskan pada ilmu metodologinya, seperti : ushul fiqh, tarikh tasyri’
dan semacamnya.
Walhasil bahwa pendidikan di pesantren ada kelemahan
dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan
mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu
alternatif yang cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama
ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan
pada education for the brain dan relatif mengabaikan Education for The heart,
yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society,
kian membludaknya pengangguran elit intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi
merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati
kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana yang seperti
ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai :
1. Lembaga
pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik,
idealistik dan realistik.
2. Pusat
rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi
spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3. Sebagai
pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan
Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).
Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan
pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran
serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan
tumbuhnya pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mengajarkan
agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan
berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal
kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa
pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid,
surau, atau dirumah-rumah ustadz.
Keberadaan lembaga-lembaga yang tersebut di atas, kemudian
muncul dan berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh didasari tanggung
jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok
sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat peribadatan dan
pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kiai
yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Secara mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar
keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya
masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan bagian
integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor
yang terpisah. Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak
dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan
dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta
diperhatikan nasehat-nasehatnya.
Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai
tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi masyarakat
sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada
umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana telah dijelaskan atau dideskripsikan pada
pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai
wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni
tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan. Secara realistis
banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di tanah air
ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya pendidikan Islam, yaitu
membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Terbukti semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi
pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada
pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada
separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya
adalah indikasi-indikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep
dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam
menanggapi sistem pendidikan yang ada di tanah air ini dan dituntut adanya
penyikapan yang arif dan bijaksana.
B. Visi dan Misi Pendidikan Pondok
Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan Islam Indonesia
Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara
kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal
tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya
tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai
perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam
setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga
karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat pelbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru
yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus
survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi
masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan
nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang
terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut antara lain :
Pertama, karakterinya yang khas dan tidak dimiliki oleh
lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh
sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren
selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia
. Nah sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi
milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata
uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat
bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya
sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik,
akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap
musim dengan idzin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa,
yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan
kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren
sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya
hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat
menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar
siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang
menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam
perubahan yang bagaimanapun.
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara
santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi
juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan
informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri
dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai
dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat
batiniyah.
Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah
santri mukim, dimana santri
diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana
tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyiai
dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting
adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan
kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri
melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi
ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima, Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi.
Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan
bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia
mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam
kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim
as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)
Dengan berbagai visi serta kecenderungan baru itulah,
kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai
relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara
perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan
selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid,
Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri, sebagaimana dilihat Clifford
Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh
berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung perguruan tinggi, pusat olah raga,
kantor administrasi, perpustakaan, Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa,
koprasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain
(Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)
Demikian juga kita melihat terdapat beberapa
refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan
sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, public service,
dll. Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar
memainkan fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu ilmu
keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah
menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri
(People centered development), Pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi
pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga (Institution
development) dan kemandirian (Self reliance and sustainability).
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau
terkesan hati hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren --menurut
Azyumardi Azra.-- jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari
itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada
gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan
dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan
kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan
dan pelestarian lingkungan hidup, pusat emansipasi wanita dan pusat
pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)
Kendati bersifat evolusioner, dengan langkah yang mantap
pesantren -- khususnya di Jawa-- terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang
konstan, dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder
untuk berbondong bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut, tidak
hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan dari luar
Negeri, seperti malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain disebabkan
faktor internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi
diri, juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak
mampu secara nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri dan berakhlakul
karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini
tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup,
Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat diragukan.
Dalam penelitiannya tahun 1955, Departemen Agama mencatat
terdapat 30.368 pesantren dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai
perbandingan saja pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren bertambah
menjadi 37 000 buah dengan sekitar 4 juta santri. Angka angka ini menunjukkan
bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi yang menakjubkan, meski berada
dibawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.
Fenomina Mutahir yang dapat diamati adalah bahwa pesantren
terus mengembangkan ekspansinya hingga batas yang boleh disebut strategis,
misalnya :
1. Secara
fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenominal, sehingga tidak tepat
lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan lembaga yang berfasilitas seadanya, kumuh,
sesak dan tidak heginis, tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi umat islam,
saat ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki gedung megah dan
mentereng.
2. Begitu
juga dengan domaiannya, ia tidak saja sebagai rural based institution, tetapi
juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan
sejumlah pesantren kota, pesantren pembangunan, pesantren mahasiswa, pesantren
tehnologi, pesantren gender, pesantren industri, pesantren lingkungan,
pesantren nara pidana yang notabene berdomisili dikota kota metpropolitan.
Seperti : PP Darun Najah, PP Assiddiqiyah di Jakarta, PP Alkautsar dan PP Darul
Arafah di Medan, PP Darul Hikmah di Pekan baru, Al Hikam di Malang, Al Jauhar
dan Nurul Islam di Jember dan banyak lagi ditempat lain seperti : Bandung,
Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dll.
3. Selain
itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas Jawa,
tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dsb.
4. Sistem
pengasramahan yang di pesantren dikenal dengan istilah santri mukim, saat ini
ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan dengan istilah
boarding school atau boarding system.
Di lingkungan Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa model yang --
meski malu malu-- sesungguhnya meniru model pesantren, seperti : Pondok
pesabtren Hj Nuriyah sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren Kampus
di UIS Malang, Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh contoh
lain.
Tidak sedikit Pesantren yang secara cemerlang berhasil
memberdayakan masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan,
tetapi juga bidang ekonomi, tehnologi dan ekologi. Pesantren Annuqoyah Guluk
guluk Madura, misalnya, telah berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya
pada tahun 1978 menjadi desa swakarya pada tahun 1979 dan menjadi desa
swasembada pada tahun 1981. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren
tersebut mendirikan “Biro Pengabdian Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat
penghargaan Kalpataru pada tahun 1981.
Pesantren lain yang juga mendapatkan penghargaan
serupa adalah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan yang berhasil membuka cabang
cabang pendidikan di 55 kecamatan dan ratusan desa, Pesantren ini juga berhasil
memberangkatkan 354 KK untuk mengikuti kegiatan transimigrasi dengan bekal
skill yang memadai, sehingga mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru
pada tahun 1986.
Demikian juga dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Situbondo, Pesantren Maslakhul Huda margoyoso Pati, Pesantren Suralaya
Tasikmalaya dan juga beberapa pesantren lainnya, yang masing masing mendapat
penghargaan Kalpataru karena kontribusinya yang sangat signifikan dalam
pembangunan masyarakat .
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para Kiai
pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk
menegakkan kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas.
Inilah ciri pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi
dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional
dengan sarana dan prasarana yang mudah, namun para Kiai dan santrinya tetap
mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar
pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana sederhana.
Keterbatasan sarana dan prasarana ini, ternyata tidak menyudutkan para Kiai dan
santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan.
Mereka seakan sepakat bahwa pesantren tempat untuk melatih diri (riyadhoh)
dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak menghalamgi mereka untuk menuntut
ilmu.
Dengan demikian jiwa kesederhanaan di atas, maka tujuan
pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim,
yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia,
bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan
teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan
kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam. (Sulthon dan Ridho,
2006: 159-160).
Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kualitas out put
pondok pesantren itu tergantung bagaimana suatu program yang sudah di tentukan
oleh sosok pengasuh. Dalam artian terealisasinya visi, misi dan tujuan pondok
pesantren terletak pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena itu, ada beberapa faktor
yang dimaksud dengan visi, misi dan tujuan pondok pesantren sebagaimana di
bawah ini :
1.
Adanya kemampuan SDM pengelola atau pengasuh
2. Adanya
strategi yang baik demi tercapainya suatu tujuan
3. Adanya
kebijaksanaan pemerintah, baik melalui perundang-undangan, surat keputusan
mentri atau pejabat pemerintah dan sebagainya untuk mendukung program-program
yang sudah ada di pondok pesantren.
4. Adanya
intervensi masyarakat (sosio-cultur)
5. Dapat
menyesuaikan dengan adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi
Hal ini juga dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk,
sesungguhnya tujuan pendidikan pesantren tergantung atau ditentukan oleh
kebijakan kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada
itu perkembangan dan perubahan pesantren yang cukup berperan aktif serta
sebagai pedoman di dalam proses pendidikan untuk tercapainya tujuan
instruksional selalu menggunakan kurikulum. (2002:85)
C. Kurikulum
Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan
Islam Indonesia
Kurikulum pendidikan di pesantren saat ini tidak sekedar
fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan
semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, di Pesantren saat ini
dikhotomi ilmu mulai tidak populer , beberapa pesantren bahkan mendirikan
lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS, Misalnya Undar Jombang,
Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa barat, dll.
Perkembangan yang begitu pesat dalam ilmu pengetahuan dan
tehnologi, menyebabkan pengertian kurikulum selalu mengalami perubahan dari
waktu ke waktu, namun demikian satu hal yang permanen disepakati bahwa Istilah
kurikulum berasal dari bahasa Yunani, semula populer dalam bidang olah raga,
yaitu Curere yang berarti jarak
terjauh yang harus ditempuh dalam olahraga lari mulai start hingga finish.
Kemudian dalam konteks pendidikan, kurikulum diartikan sebagai “circle of instruction” yaitu suatu
lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam bahasa Arab Menurut Omar Muhammad (1979 : 478), term kurikulum
dikenal dengan term manhaj, yakni
jalan terang yang dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan
kurikulum diartikan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta
didik untuk menggabungkan pengetahuan, ketampilan, sikap dan seperangkat nilai.
Secara etimologi, artikulasi kurikulum dapat dibedakan
menjadi dua, pertama, dalam
pengertiannya yang sempit, disebut juga (pengertian tradisional) yakni
sebagaimana dirumuskan Regan ( 1960 : 57) “ The
curriculum has mean the subjects taught in school, or the course of study “.
Kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi.
Kedua, dalam
pengertiannya yang luas, disebut juga (pengertian modern), yakni seperti
dirumuskan Spear ( 1975 : 67) “The
curriculum is looked as being composed of all the actual experience pupils have
under school direction, writing a courrse of study become but small prt of
curriculum program”. Kurikulum adalah semua pengalaman aktual yang dimiliki
siswa di bawah pengaruh sekolah, sementara bidang studi adalah bagian kecil
dari program kurikulum secara keseluruhan.
Rumusan ini dijustifikasi oleh sejumlah pakar lain seperti
Saylor dan Alexander yang menyebutkan
“The curriculum is the sum total of the school’s effort to influence learning
whether in the calssroom, on the playground, or out of shoo” kurikulum
adalah keseluruhan usaha sekolah dalam mempengaruhi belajar anak yang
berlangsung di dalam kelas, di sekolah, maupun di luar sekolah.
Melampaui pembagian diatas, saat ini ada juga beberapa pakar
seperti Lee and Lee ( 1940 : 211) yang menyebutkan bahwa “Curricuum is the strategy which we use in adapting this cultural
geritage to the purpose of the shoo “ Kurikulum adalah strategi yang
digunakan untuk mengadaptasikan pewarisan kultural dalam mencapai tujuan
sekolah.
Berdasarkan literatur yang ada yang dimaksud dengan kurikulum
adalah salah satu komponen utama yang diguanakan sebagai acuan untuk menentukan
isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur
keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan disamping fakyor-faktor yang lain.
Oleh sebab itu, keberadan kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat
penting. Kita selalu sering mendengar sorotan tajam bahwa kurikulum selalu
tertinggal dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian pembenahan kurikulum harus senantiasa
dilakukan secara berkesinambungan. Dalam konteks pendidikan di pesantren,
Nurcholis Madjid mengatakan yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, bahwa
istilah kurikulum tidak terkenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan),
walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada di dalam pesantren, terutama
pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan
di pesantren. Secara eksplisit pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren
atau mengaplikasikannya dalam bentuk kurikulum. (2002:85)
Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan,
termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal sistem dan
kelembagaan pesantren telah dimodernisasi, serta disesuaikan dengan tuntutan
pembangunan, terutama dalam aspek-aspek kelembagaan sehingga secara otomatis
akan mempengaruhi ketetapan kurikulum.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kurikulum pada dasarnya
merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga
pendidikan dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam
aspek kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak
pendidikannya yang bermacam-macam. Seperti Pesantren Tebuireng Jombang yang di
dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang
dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum.
Tetapi pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum
belum dimasukkan secara baik.
Maka dari pada itu kurikulum pondok pesantren tradisional
statusnya cuma sebagai lembaga pendidikan non formal yang hanya mempelajari
kitab-kitab klasik. Meliputi : nahwu, sorrof, belaghoh, tauhid, tafsir, hadist,
mantik, tasawwuf, bahasa arab, fiqih, ushul fiqh dan akhlak. Dengan demikian
pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan
kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal,
menengah, dan lanjutan.
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam
lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan
tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang
ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.
Apabila seorang santri telah mengusai satu kitab atau beberpa
kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh Kiainya, maka ia berpindah kepada
kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan
pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang
telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas,
pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau
bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat
menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan
pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin
mondok. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160)
Kendati beberapa pakar berbeda dalam merumuskan pengertian
kurikulum, tetapi mereka tidak berbeda mengenai fungsi kurikulum, yakni :
sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagai pelestari
nilai nilai budaya dan sebagai pedoman tentang jenis, lingkup dan hirarki
urutan isi dan proses pendidikan..
Kurikulum, bagi pendidik berfungsi sebagai pedoman kerja
dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar peserta didik, bagi tenaga
kependidikan berfungsi sebagai pedoman dalam mengadakan supervisi, bagi wali
murid berfungsi untuk memberikan informasi sekaligus dorongan agar membantu
menggiatkan belajar yang relevan di rumah, dan bagi perserta didik sendiri
berfungsi sebagai informasi tentang jenis pengetahuan, nilai nilai dan
keterampilan yang telah diperolehnya sebagai entri behaviornya.
Kurikulum Pendidikan pesantren, menurut Hasan (2001 : 6 )
paling tidak memiliki beberapa komponen, antara lain : tujuan, isi pengetahuan
dan pengalaman belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan
tersebut terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional,
tujuan institusional, tujuan kurekuler dan tujuan instruksional. Namun demikian
berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan
yang tak terpisahkan.
Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi
standart, standart hasil belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran.
kepribadian. Komponen strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam
melaksanakan pengajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam
melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara
keseluruhan. Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku
dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran
yang digunakan.
Komponen evaluasi berisi penilaian yang dilakukan secara
terus menerus dan bersifat menyeluruh terhadap bahan atau program pengajaran
yang dimaksudkan sebagai feedback terhadap tujuan, materi, metode, sarana,
dalam rangka membina dan mengembangkan kurikulum lebih lanjut
Menurut Imam Bawani (1987 : 92) adalah berbeda antara
pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. Bila disebut pendidikan Islam,
maka orientasinya adalah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami yang
teori-teorinya disusun berdasarkan alqur’an hadits. Sedangkan pendidikan agama
Islam adalah nama kegiatan atau aktivitas dalam mendidikkan agama Islam.
Dengan kata lain pendidikan agama Islam adalah sejajar dengan
mata pelajaran lain di sekolah seperti pendidikan matematika, ataupun
pendidikan biologi. Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam dijelaskan bahwa
pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam mempersiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran
agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain
dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud
persatuan dan kesatuan bangsa.
Jadi kurikulum Pendidikan pesasntren adalah bahan-bahan
pendidikan agama Islam di pesantren berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman
yang dengan sengaja dan sisteatis diberikan kepada santri dalam rangka mencapai
tujuan Pendidikan Agama Islam. Kurikulum Pendidikan pesasntren merupakan alat
untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Adapun lingkup materi pendidikan
pesasntren adalah : Al-Qur’an dan Hadits, Keimanan, akhlak, Fiqh/ibadah dan
sejarah, dengan kata lain, cakupan Pendidikan pesasntren adanya keserasian,
keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri,
sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan Pendidikan pesasntren tersebut, perlu
rekonstruksi kurikulum agar lebih riil. Rumusan tujuan Pendidikan pesasntren
yang ada selama ini masih bersifat general dan kurang mach dengan realitas
masyarakat yang terus mengalami transformasi. Rekonstruksi disini dimaksudkan
untuk meningkatkan daya relevansi rumusan tujuan Pendidikan pesasntren dengan
persoalan riil yang dihadapi masyarakat dalam hidup kesehariannya.
Prinsip pengembangan kurikulum Pendidikan pesasntren secara
umum dapat dikelompkkan menjadi dua, yakni prinsip umum , yang meliputi prinsip
relevansi, prinsip fleksebelitas, prinsip kontinoitas, prinsip praktis, prinsip
efektifitas dan prinsip efisiensi. Sedangkan prinsip khusus mencakup prinsip
yang berkenaan dengan tujuan Pendidikan pesasntren, prinsip yang berkenaan
dengan pemilihan isi Pendidikan pesasntren , prinsip yang berkenaan dengan
metode dan strategi proses pembelajaran Pendidikan pesantren, prinsip yang
berkenaan dengan alat evalusi dan penilaian Pendidikan pesasntren.
Mastuhu secara praktis memberikan konsep tentang model dan
paradigma Pendidikan pesasntren yang diharapkan menjadi orientasi dan landasan
dalam kurikulum lembaga Pendidikan pesasntren, yaitu :
· Dasar
Pendidikan : Pendidikan pesasntren harus mendasarkan pada “teosentris’ dengan menjadikan “antroposentris”
sebagai bagian esensial dari konsep teosentris. Hal ini berbeda dengan
pendidikan sekuler yang hanya bersifat antroposentris semata.
· Tujuan
Pendidikan : kerja membangun kehidupan duniawiyah melalui pendidikan sebagai
perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan kehidupan duniawiyah bukan menjadi
tujuan final, tetapi merupakan kewajiban yang diimani dan terkait kuat dengan
kehidupan ukhrawiyah, tujuan finalnya adalah kehidupan ukhrawi dengan ridla
Allah SWT.
· Konsep
manusia : Pendidikan Islam memandang manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan, tidak seperti pendidikan sekuler
yang memandang manusia dengan tabularasa-nya.
· Nilai
: Pendidikan pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan
Imtaq sebagai kebenaran mutlak. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya
berorientasi pada Iptek.
Pengembangan kurikulum Pendidikan pesasntren yang terus
menerus menyangkut seluruh komponennya merupakan sesuatu yang mutlak untuk
dilakukan, agar ia tidak kehilangan relevansi dengan kebutuhan riil yang
dihadapi komonitas pendidikan islam yang kecenderungannya terus mengalami
proses dinamika transformatif.
Pendidikan pesantren yang dibangun atas dasar pemikiran yang
Islami bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia, serta
diarahkan kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah – kaidah Islam.
Kurikulum yang demikian biasanya mengacu pada sembilan prinsip utamanya sebagai
berikut :
· Sistem
dan pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan fitrah manusia, agar tetap
berada dalam kesucianya dan tidak menyimpang.
· Kurikulum
hendaknya mengacu kepada pencapain tujuan akhir pendidikan Islam sambil
memperhatikan tujuan – tujuan di bawahnya.
· Kurikulum
perlu disusun secara bertahap mengikuti periodisasi perkembangan peserta didik.
· Kurikulum
hendaknya memperhatikan kepentingan nyata masyarakat seperti kesehatan,
keamanan, administrasi dan pendidikan. Kurikulum hendaknya pula disesuaikan
dengan kondisi dan lingkungan seperti iklim dan kondisi alam yang memungkinkan
adanya perbedaan pola kehidupan, agraris , industri dan komersial.
· Kuirikulum
hendaknya terstruktur dan terorganisasi secara integral.
· Kurikulum
hendaknya realistis. Artinya, kurikulum dapat dilaksanakan sesuai dengan
berbagai kemudahan yang dimiliki setiap negara yang melaksanakanya.
· Metode
pendidikan yang merupakan salah satu komponen kurikulum ini hendaknya bersifat
fleksibel.
· Kurikulum
hendaknya efektif untuk mencapai tingkah laku dan emosi yang positif.
· Kurikulum
hendaknya memperhatiakan tingkat perkembangan peserta didik, baik fisik,
emosional, ataupun intelektualnya; serta berbagai masalah yang dihadapi dalam
setiap tingkat perkembangan seperti pertumbuhan bahasa, kamatangan sosial, dan
kesiapan religiusitas.
D. Manajemen
Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan
Islam Indonesia
Dalam prinsip ajaran Islam, segala sesuatu tidak
boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi,
benar, tertib, dan teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan
tertib.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yang
artinya : “Sesungguhnya Allah sangat
mencintati orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara Itqan
(tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani)
Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala
sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang
disyariatkan dalam ajaran Islam, sebab dalam islam arah gayah (tujuan) yang jelas, landasan yang kokoh, dan kaifiyah yang benar merupakan amal
perbuatan yang dicintai Allah swt.
Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok
pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan
pengetahuan manajemen, pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan
menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan
Hadis ke dalam kembaganya tersebut.
Manajemen sebagai ilmu yang baru dikenal pada
pertengahan abad ke-19, dewasa ini sangat populer, bahkan dianggap sebagai
kunci keberhasilan pengelola perusahaan atau lembaga pendidikan, tak terkecuali
lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren, maka hanya dengan manajemen
lembaga pendidikan pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai harapan, karena
itu manajemen merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan Islam atau
pesantren untuk mengembangkan lembaganya ke arah yang lebih baik.
Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan dewasa ini
pendidikan islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian kompleks,
karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan kompetensi dan
penguatan institusi mutlak harus dilakukan, dan semua itu mustahil tanpa
manajemen yang profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem
pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama
lainnya, komponen tersebut meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan
profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran,
sarana prasarana, evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen
ini -- karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang -- seringkali
berjalan apa adanya, alami dan tradisional, akibatnya mutu pendidikan Islam
acapkali menunjukkan keadaan yang kurang membanggakan.
Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan landasan
dan dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar digunakan sebagaimana
mestinya. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pakar --di Indonesia-- yang secara
khusus mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam perspektif pendidikan
Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Quran dan
Al-Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan secara baik. Akibatnya proses
pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu
sendiri.
Sebagai konsekwensinya, visi dan misi pendidikan
Islam juga masih belum berhasil dirumuskan secara baik dan universal. Tujuan
pendidikan Islam juga seringkali diorientasikan untuk menghasilkan manusia –
manusia siap pakai bukan siap hidup, menguasai ilmu Islam saja bukan
berkarekter islami, dan visinya diarahkan untuk mewujudkan manusia yang shalih
dalam arti ritual ukhrowi belum sosial dunia, Akibatnya lulusan pendidikan
Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, mereka kurang mampu
bersaing dan tidak mampu berebut peluang dan kesempatan dalam ruang yang lebih
kompleks.
Konsekwensi lebih lanjut lulusan pendidikan Islam
semakin terpinggirkan dan tak berdaya, ini merupakan masalah besar yang perlu
segera diatasi, lebih lebih dalam dunia persaingan yang kian kompetieif dan
mengglobal. Problema ini kian diperparah oleh tidak tersedianya tenaga pendidik
Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu
yang diajarkannya secara baik dan benar, juga harus mampu mengajarkannya secara
efektif dan efisien kepada para siswa, serta harus pula memiliki idealisme.
Manajemen yang dimaksud disini adalah kegiatan
seseorang dalam mengatur organisasi, lembaga atau perusahaan yang bersifat
manusia maupun non manusia, sehingga tujuan organisasi, lembaga atau perusahaan
dapat tercapai secara efektif dan efisien. Bertolak dari rumusan ini , terdapat
beberapa unsur yang inheren dalam manajemen, antara lain :
1. Unsur
proses, artinya seorang manejer dalam menjalankan tugas manajerial harus
mengikuti prinsip graduasi yang berkelanjutan.
2. Unsur
penataan, artinya dalam proses manajemen prinsip utamanya adalah semangat
mengelola, mengatur dan menata.
3. Unsur
implementasi, artinya, setelah diatur dan ditata dengan baik perlu dilaksanakan
secara profesional.
4. Unsur
kompetensi. Artinya sumber-sumber potensial yang dilibatkan baik yang bersifat
manusia maupun non manusia mesti berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan
kualitasnya.
5. Unsur
tujuan yang harus dicapai, tujuan yang ada harus disepakati oleh keseluruhan
anggota organisasi. Hal ini agar semua sumber daya manusia mempunyai tujuan
yang sama dan selalu berusaha untuk mensukseskannya. Dengan demikian tujuan
yang ada dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas dalam
organisasi.
6. Unsur
efektifitas dan efisiensi. Artinya, tujuan yang ditetapkan diusahakan tercapai
secara efektif dan efisien.
Relevan dengan hal diatas, Hamzah (1994 : 32)
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Pendidikan Pesantren adalah
aktivitas memadukan sumber-sumber Pendidikan Pesantren agar terpusat dalam
usaha untuk mencapai tujuan Pendidikan Pesantren yang telah ditentukan
sebelumnya, dengan kata lain manajemen Pendidikan merupakan mobilisasi segala
sumberdaya Pendidikan Pesantren untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan.
Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekatnya adalah
suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang
melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkannya mencapai
tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.”.
Yang disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan
yang berhasil mencapai sasarannya dengan sempurna, cepat, tepat dan selamat.
Sedangkan yang “tidak efektif” adalah pengelolaan yang tidak berhasil memenuhi
tujuan karena adanya mis-manajemen, maka
manajemen yang tidak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuannya
tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga, waktu maupun biaya.
Reddin (1970 : 135) memberikan beberapa gambaran
tentang perilaku manajer yang efektif, antara lain : pertama, mengembangkan
potensi para bawahan, kedua, memahami dan tahu tentang apa yang diinginkan dan
giat mengejarnya, memiliki motivasi yang tinggi, ketiga, memperlakukan bawahan
secara berbeda-beda sesuai dengan individunya, dan keempat, bertindak secara
team manajer.
Seorang manajer tidak hanya memanfaatkan tenaga
bawahannya yang sudah ahli atau trampil demi kelancaran organisasi yang dia
pimpin saja, tetapi juga memberikan kesempatan pada bawahannya agar mereka
dapat meningkatkan keahlian atau ketrampilannya.
Manajer Pendidikan Pesantren pada umumnya hanya tahu
apa tugas mereka agar proses pendidikan dapat berlangsung konstan, tetapi
acapkali mereka kurang mampu mengantisipasi secara akurat perubahan yang bakal
terjadi di masyarakat pada umumnya dan dalam dunia pendidikan Islam khususnya.
Akibatnya mereka hanya tenggelam dalam tugas-tugas rutin organisasi keseharian
tetapi sangat sulit melakukan inovasi progresif nan memungkinkan dicapainya
tujuan organisasi secara lebih improve dan membanggakan.
Dalam setiap perjalanan sebuah lembaga itu tidak terlepas
yang namanya aktivitas managemen, karena setiap lembaga, organisasi dan
termasuk pondok pesantren selalu berkaitan dengan usaha-usaha mengembangkan dan
memimpin suatu tim kerja sama atau kelompok orang dalam satu kesatuan, dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada. Semuanya ini untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dalam organisasi yang ditetapkan sebelumnya. Maka dari pada itu,
keterkaitan managemen dan memimpin tidaklah salah jika kemudian orang
menyatakan bahwa managemen sangat berkait erat dengan persoalan kepemimpinan.
Karena managemen dari segi etimologinya yang berasal dari sebuah kata manage atau manus (latin) yang berarti memimpin, menangani, mengatur, dan
membimbing. Dengan demikian pengertian managemen dapat diartikan sebagai sebuah
proses khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan,
pengorganisasian, penggiatan, dan juga pengawasan. Ini semua juga dilakukan
untuk menentukan atau juga untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia, serta sumber-sumber lainnya.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa managemen
adalah ilmu aplikatif, dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan
meliputi beberapa hal : Pleaning, organizing, aktuating, controling.
Berdasarkan empat hirarki tersebut managemen dapat bergerak, tentunya hal itu
juga bergantung tingkat kepemimpinan seorang manager. Artinya adalah proses
managerial sebuah organisasi akan bergerak apabila para managernya mengerti dan
paham secara benar akan apa yang dilakukannya. (Suhartini, dkk,2005:70-72)
Maka berdasarkan dari definisi di atas, baik secara etimologi
dan termenologi, berbicara managemen pendidikan pondok pesantren atau bisa
disebut mengolah konsep apapun tentang pesantren sebenarnya bukanlah pekerjaan
mudah. Terlebih dahulu adanya kenyataan bahwa tidak ada konsep yang mutlak
rasional, dan paling afdhol diterapkan di pesantren. Baik sejarah
pertumbuhannya yang unik maupun karena tertinggalnya pesantren dari
lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis,
pesantren belum mampu mengolah, apalagi dalam soal melaksanakan konsep yang
disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
Kendati bersifat gradual, dalam beberapa tahun terakhir di
lembaga pendidikan pesantren telah dilakukan berbagai pembaharuan di bidang
manajemen sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi global, salah satu
bentuknya adalah model manajemen demokratis yang berbasis kultural, dari, oleh
dan untuk peserta didik (DOUP), dalam konteks ini terjadi rekonstruksi dari
yang top down menjadi button up, dari yang doktrimal menjadi demokratik, dari
yang menyeramkan menjadi menyenangkan.
Konsederasi yang dapat digunakan bagi model manajemen
demokratis adalah bahwa setiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan
merdeka, karena itu kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan kemerdekaan
sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari berbagai bentuk ketidak berdayaan
disegala bidang, termasuk pendidikan.
Karena itu agenda utama manajemen demokratis dalam pendidikan
islam adalah semangat pembebasan kaum muslimin dari belenggu ideologi dan
relasi kekuasaan yang menghambatnya mencapai perkembangan harkat dan martabat
kemanusiaannya, maka manajemen demokratis dalam pendidikan islam sejatinya
diarahkan pada proses aksi dimana kelompok sosial kelas bawah mengontrol ilmu
pengetahuan dan membangun daya melalui pendidikan, penelitian dan tindakan
sosial kritis.
Dari sisi managemen kelembagaan, di pesantren saat ini telah
terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis
dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti
model yayasan.
Sejatinya manajemen berhubungan erat dengan usaha untuk
tujuan tertentu dengan jalan menggunakan berbagai sumber daya yang tersedia
dalam organisasi atau lembaga pendidikan Islam dengan cara yang sebaik mungkin.
Manajemen bukan hanya mengatur tempat melainkan juga mengatur orang per orang,
dalam mengatur orang, tentu diperlukan seni atau kiat agar setiap orang yang
bekerja dapat menikmati pekerjaan mereka.
Dalam proses manajemen, fungsi-fungsi manajemen digambarkan
secara umum dalam tampilan prangkat organisasi yang dikenal dengan sebutan
teori manajemen klasik. Para pakar manajemen mempunyai perbedaan pendapat dalam
merumuskan proses manajemen, Bagi Poul Mali (1981 : 54), fungsi manajemen
meliputi : planning, organizing,
staffing, directing and controlling. Sedangkan dalam pandangan Wayne (1988
: 32) fungsi manajemen meliputi : planning,
organizing, leading and controlling. Sementara menurut Peter Drukcer (1954
: 87) proses manajemen dimulai dari planning,
organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting.
Dan menurut Made Pidarta (1988 : 85) manajemen meliputi : planning, organizing, comanding, coordinating, controlling
Berdasarkan uraian diatas, yang wajib ada dalam proses
manajemen minimal empat hal, yakni : planning,
organizing, actuating, controlling, (POAC). Empat hal ini prosesnya
digambarkan dalam bentuk siklus karena adanya saling keterikatan antara proses
yang pertama dengan proses berikunya, begitu juga setelah pelaksanaan controlling lazimnya dilanjutkan dengan
membuat planning baru.
Dalam hal ini para pakar manajemen pendidikan Islam
merumuskan siklus proses manajemen pendidikan Islam diawali oleh adanya sasaran
yang telah ditetapkan terlebih dahulu, lalu disusunlah rencana untuk mencapai
sasaran tersebut dengan mengorganisir berbagai sumber daya yang ada baik
materiil maupun non materiil lalu berbagai sumberdaya tersebut digerakkan
sesuai jobnya masing masing, dan dalam aktuating tersebut dilakukan pengawasan
agar proses tersebut tetap sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Perencanaan pendidikan islam adalah proses mempersiapkan
secara sistematis kegiatan kegiatan yang akan dikerjakan pada waktu yang akan
datang untuk mencapai sasaran atau tujuan pendidikan islam yang telah
dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya.
Dalam islam keharusan membuat perencanaan yang teliti sebelum
melakukan tindakan banyak disinyalir dalam teks suci, baik secara langsung
maupun secara sindiran (kinayah),
misalnya dalam islam diajarkan bahwa upaya penegakan yang ma’ruf dan pencegahan
yang munkar membutuhkan sebuah perencanaan dan strategi yang baik, sebab bisa
jadi kebenaran yang tidak terorganisir dan terencana akan dikalahkan oleh
kebatilan yang terorganisir dan terencana.
Meskipun Alqur’an menyatakan yang benar pasti mengalahkan
yang bathil (al Isra’ : 81), namun Allah lebih mencintai dan meridhoi kebenaran
yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi, terencana dan teratur ( as
shaff : 4)
Setelah perencanaan, dilanjutkan dengan pengorganisasian,
yakni proses penataan, pengelompokan dan pendistribusian tugas, tanggung jawab
dan wewenang kepada semua perangkat yang dimiliki menjadi kolektifitas yang
dapat digerakkan sebagai satu kesatuan team work dalam mencapai tujuan yang
telah ditentukan secara efektif dan efesien. Dalam Qs. 6 : 132 ditegaskan bahwa
“Setiap orang mempunyai tingkatan menurut pekerjaannya masing-masing.
Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-aribut negara dalam
kedudukan beliau sebagai pemegang kekuasaan tetinggi, beliau membentuk
organisasi yang didalamnya terlibat para sahabat beliau yang beliau tempatkan
pada kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-masing. Tidak dapat dipungkiri
bahwa Rasulullah adalah seorang organisatoris ulung, administrator yang jenius,
dan pendidik yang baik yang menjadi panutan, karena itu beliau disebut sebagai
panutan yang baik (uswatun hasanah).
Setelah planning dan organizing, dalam siklus manajemen
pendidikan islam dilanjutkan dengan actuating, yakni proses menggerakkan atau
merangsang anggota anggota kelompok untuk melaksanakan tugas mereka masing
masing dengan kemauan baik dan antusias.
Fungsi Actuating berhubungan erat dengan sumber daya manusia,
oleh karena itu seorang pemimpin pendidikan Islam dalam membina kerjasama,
mengarahkan dan mendorong kegairahan kerja para bawahannya perlu memahami
seperangkat faktor-faktor manusia tersebut, karena itu actuating bukan hanya kata-kata
manis dan basa-basi, tetapi merupakan pemahaman radik akan berbagai kemampuan,
kesanggupan, keadaan, motivasi, dan kebutuhan orang lain, yang dengan itu
dijadikan sebagai sarana penggerak mereka dalam bekerja secara bersama-sama
sebagai taem work.
Siklus terakhir adalah controlling, yakni proses pengawasan
dan pemantauan terhadap tugas yang dilaksanakan, sekaligus memberikan
penilaian, evaluasi dan perbaikan sehingga pelaksanaan tugas kembali sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan.
Menurut Siagian (1983 : 21) fungsi pengawasan merupakan upaya
penyesuaian antara rencana yang telah disusun dengan pelaksanaan dilapangan,
untuk mengetahui hasil yang dicapai benar-benar sesuai dengan rencana yang
telah disusun diperlukan informasi tentang tingkat pencapaian hasil. Informasi
ini dapat diperoleh melalui komunikasi dengan bawahan, khususnya laporan dari
bawahan atau observasi langsung. Apabila hasil tidak sesuai dengan standar yang
ditentukan, pimpinan dapat meminta informasi tentang masalah yang dihadapi.
Dengan demikian tindakan perbaikan dapat disesuaikan dengan
sumber masalah. Di samping itu, untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti,
maksud dan tujuan pengawasan antara pengawas dengan yang diawasi perlu
dipelihara jalur komunikasi yang efektif dan bermakna dalam arti bebas dari
prasangka nigatif dan dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna, al hasil,
tujuan pengawasan pendidikan Islam haruslah konstruktif, yakni benar benar
untuk memperbaiki, meningkatkan efektifitas dan efisiensi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
A.
Kesimpulan
1. Bahwa
pendidikan pondok pesantren tradisonal adalah jenis pesantren yang
mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fiddin) melalui kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis
oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional
merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan
pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill)
2. Bahwa
visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional dalam persepktif
pendidikan islam indonesia adalah : Pertama,
menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua, pola relasi kiai dengan santri
tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi juga bersifat batiniyah.Ketiga,
pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu ilmu
keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan
menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented
development, Institution development dan Self reliance and sustainability.
3. Bahwa
kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisonal saat ini tidak sekedar fokus
pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin
banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan pondok
pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer.
4. Bahwa
dari sisi managemen kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren
tradisional saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan
yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model
managemen kolektif seperti model yayasan.
B.
Rekomendasi
1. Karena
peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting dalam
menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance
terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka
keberadaannya perlu mendapat dukungan yang lebih serius dari semua pihak.
2. Karena
kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ
merupakan aspek utama yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren
tradisional, maka direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan
pendidikan hati demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki.
3. Karena
aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu
berkembang positif di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja
dalam dimensi theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam
pencerahan masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan
nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-lampiran