oleh Ahmad Fauzan Zaend pada 04 April 2010 jam 14:18
(Di salin Dari Facebook Lama "zanskiey@hotmail.com")
Nada suaranya besar. Barangkali dua rumah di kiri dan kanan rumah saya bisa mendengarkan kata-kata pria ini ketika ngomong. Memang sih artikulasinya tidak sekinclong para pemain teater ketika pentas di atas panggung. Lebih dari itu, ia cukup talkactive. Ketika saya menanyakan satu pertanyaan, pria ini akan menjawab minimal tiga jawaban.
Nama pria ini Durhadi. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat ini adalah tukang service payung keliling. Namanya tukang, sudah pasti fisiknya tidak seindah majikan. Hitam kelam, karena tersengat matahari. Bau badannya menyengat, karena keringat yang menempel di t-shirt-nya kering dipakai.
Namun ada yang membuat saya respek pada ayah tiga anak ini. Ia tidak pernah absen sholat lima waktu dengan alasan apapun. Tidak heran, ketika saya izin meninggalkannya untuk sholat dzuhur, ia pun mengaku ingin sholat.
“Sholat di rumah saya aja, Pak,” ajak saya. “Nggak apa-apa. Sholat dulu, baru benerin payung. Nanti saya siapkan sajadahnya.”
“Ah, enggak, Pak. Makasih,” ucap pak Durhadi. “Nanti saya sholat di musholla aja.”
Sungguh luar biasa pak Durhadi ini. Kenapa luar biasa? Bukankah sholat itu memang wajib hukumnya? Memang, tetapi nggak semua orang Islam melakukan kewajiban utama ini. Namun dalam kondisi serba kekurangan, pak Dulhadi masih menjalankan kewajiban sholat.
Saya berani jamin, nggak semua orang miskin kayak pak Durhadi masih ingat sholat. Boro-boro ingat sholat, ingat Allah aja belum tentu. Kalo itu kejadiannya, saya cuma bisa menyebut: Astagfirullah!
Nggak cuma orang yang serba kekurangan yang malas untuk sholat. Mereka yang sebetulnya berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga baik-baik, sehat wal afiat, dan tentu saja punya otak, malas sholat. Mereka lebih peduli meng-update status Facebook-nya, atau membalas e-mail. Yang paling menyebalkan, ketika adzan berkumandang, orang-orang yang cuek akan panggilan Allah ini lebih suka meng-update Twitter atau merespon update status Twitter orang. Dasar!
Jauh beda dengan pak Durhadi. Berbicara dengan pria ini bikin merinding. Bayangkan, sebagai tukang service payung keliling, ia nggak selalu dapat pelanggan. Kalo nggak dapat pelanggan artinya ia nggak dapat rezeki. Meski nggak dapat rezeki, ia tetap sabar dan nggak lupa sholat. Nggak ada kata mengeluh.
“Saya paling sedikit dapat limaribu per hari, Pak,” jelas pak Durhadi. “Paling besar 50 ribu. Bahkan pernah sampai 70 ribu. Tapi itu jarang. Jarang sekali.”
Setiap hari, dari rumah kontrakannya di Sunter, Jakarta Utara, ia naik Metromini P 24 jurusan Sunter-Senen menuju ke daerah Cempaka Putih dan sekitarnya. Dari situ, ia keliling tanpa tujuan. Kalo ada rezeki, pasti ada orang yang panggil dan butuh tenaganya untuk membetulkan payung. Tapi kalo nggak ada yang panggil, ia pulang tanpa uang.
“Ya rezeki-rezekian lah, Pak. Biasanya musim hujan banyak yang butuh tenaga saya,” ujar pak Durhadi yang mengaku sudah 13 tahun menjalani profesi sebagai tukang service payung keliling. “Kalo panas kayak begini ya nggak sebanyak pada saat musim hujan.”
Dengan pendapatan yang kecil sekali, ia tetap mengirimkan uang ke istri dan anak-anaknya di kampung. Anda tahu berapa sekali kirim? Kadang Rp 200 ribu, kadang Rp 300 ribu. Sungguh miris kalo mengetahui uang hasil service payung yang dikirim ke kampung itu. Bandingkan dengan mereka yang biasa nongkrong di mal atau cafe atau yang terakhir berlomba-lomba antri untuk dapat diskon produk sepatu karet.
Itulah kenapa Allah menciptakan orang miskin, yakni agar kita bisa melihat ke ‘bawah’. Bahwa masih banyak orang lain yang jauh kurang beruntung dari kita. Masih banyak orang yang boro-boro tahu Blackberry, mikir untuk masuk ke Ancol yang menurut kita murah saja, ia pasti nggak terbayangkan. Di sinilah kita wajib bersyukur. Saat berjumpa dengan pak Durhadi inilah saya terus diingatkan tentang arti sholat.
“Rasanya saya sedih kalo ninggalin sholat,” kata pak Durhadi yang di dalam tas yang dipikulnya selaian alat untuk service, ia juga membawa sarung dan baju bersih untuk keperluan sholat. “Rasanya saya kayak punya hutang.”
Luar biasa! Kaum intelek seperti kita belum tentu berpikir, hubungan sholat dan hutang. Boro-boro mikir, sadar kalo Allah itu eksis saja masih abu-abu. Bener nggak ya Allah ada? Yakin nggak ya surga itu ada?
Kini, usia Durhadi nggak muda lagi. Namun, saya masih melihat semangat untuk berjuang dalam hidup, masih bersinar. Apalagi ia mengaku masih punya anak yang masih kecil, yang masih duduk di bangku SD di pesantren di kampungnya di Cirebon. Sementara dua anaknya sudah besar-besar.
Sebelum meninggalkan rumah saya, pak Durhadi juga bercerita bagaimana dirinya percaya pada rezeki. Saking percaya, ia tidak takut libur kerja di hari Jum’at. Sepanjang hari, khusus di hari Jum’at, ia nggak berkeliling mencari pelanggan.
“Tiap Jum’at, saya libur khusus buat beribadah,” ungkap pak Durhadi yang selama puasa di bulan Ramadhan juga nggak pernah ‘bolong’ puasanya ini. Subhannallah!
(Di salin Dari Facebook Lama "zanskiey@hotmail.com")
Nada suaranya besar. Barangkali dua rumah di kiri dan kanan rumah saya bisa mendengarkan kata-kata pria ini ketika ngomong. Memang sih artikulasinya tidak sekinclong para pemain teater ketika pentas di atas panggung. Lebih dari itu, ia cukup talkactive. Ketika saya menanyakan satu pertanyaan, pria ini akan menjawab minimal tiga jawaban.
Nama pria ini Durhadi. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat ini adalah tukang service payung keliling. Namanya tukang, sudah pasti fisiknya tidak seindah majikan. Hitam kelam, karena tersengat matahari. Bau badannya menyengat, karena keringat yang menempel di t-shirt-nya kering dipakai.
Namun ada yang membuat saya respek pada ayah tiga anak ini. Ia tidak pernah absen sholat lima waktu dengan alasan apapun. Tidak heran, ketika saya izin meninggalkannya untuk sholat dzuhur, ia pun mengaku ingin sholat.
“Sholat di rumah saya aja, Pak,” ajak saya. “Nggak apa-apa. Sholat dulu, baru benerin payung. Nanti saya siapkan sajadahnya.”
“Ah, enggak, Pak. Makasih,” ucap pak Durhadi. “Nanti saya sholat di musholla aja.”
Sungguh luar biasa pak Durhadi ini. Kenapa luar biasa? Bukankah sholat itu memang wajib hukumnya? Memang, tetapi nggak semua orang Islam melakukan kewajiban utama ini. Namun dalam kondisi serba kekurangan, pak Dulhadi masih menjalankan kewajiban sholat.
Saya berani jamin, nggak semua orang miskin kayak pak Durhadi masih ingat sholat. Boro-boro ingat sholat, ingat Allah aja belum tentu. Kalo itu kejadiannya, saya cuma bisa menyebut: Astagfirullah!
Nggak cuma orang yang serba kekurangan yang malas untuk sholat. Mereka yang sebetulnya berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga baik-baik, sehat wal afiat, dan tentu saja punya otak, malas sholat. Mereka lebih peduli meng-update status Facebook-nya, atau membalas e-mail. Yang paling menyebalkan, ketika adzan berkumandang, orang-orang yang cuek akan panggilan Allah ini lebih suka meng-update Twitter atau merespon update status Twitter orang. Dasar!
Jauh beda dengan pak Durhadi. Berbicara dengan pria ini bikin merinding. Bayangkan, sebagai tukang service payung keliling, ia nggak selalu dapat pelanggan. Kalo nggak dapat pelanggan artinya ia nggak dapat rezeki. Meski nggak dapat rezeki, ia tetap sabar dan nggak lupa sholat. Nggak ada kata mengeluh.
“Saya paling sedikit dapat limaribu per hari, Pak,” jelas pak Durhadi. “Paling besar 50 ribu. Bahkan pernah sampai 70 ribu. Tapi itu jarang. Jarang sekali.”
Setiap hari, dari rumah kontrakannya di Sunter, Jakarta Utara, ia naik Metromini P 24 jurusan Sunter-Senen menuju ke daerah Cempaka Putih dan sekitarnya. Dari situ, ia keliling tanpa tujuan. Kalo ada rezeki, pasti ada orang yang panggil dan butuh tenaganya untuk membetulkan payung. Tapi kalo nggak ada yang panggil, ia pulang tanpa uang.
“Ya rezeki-rezekian lah, Pak. Biasanya musim hujan banyak yang butuh tenaga saya,” ujar pak Durhadi yang mengaku sudah 13 tahun menjalani profesi sebagai tukang service payung keliling. “Kalo panas kayak begini ya nggak sebanyak pada saat musim hujan.”
Dengan pendapatan yang kecil sekali, ia tetap mengirimkan uang ke istri dan anak-anaknya di kampung. Anda tahu berapa sekali kirim? Kadang Rp 200 ribu, kadang Rp 300 ribu. Sungguh miris kalo mengetahui uang hasil service payung yang dikirim ke kampung itu. Bandingkan dengan mereka yang biasa nongkrong di mal atau cafe atau yang terakhir berlomba-lomba antri untuk dapat diskon produk sepatu karet.
Itulah kenapa Allah menciptakan orang miskin, yakni agar kita bisa melihat ke ‘bawah’. Bahwa masih banyak orang lain yang jauh kurang beruntung dari kita. Masih banyak orang yang boro-boro tahu Blackberry, mikir untuk masuk ke Ancol yang menurut kita murah saja, ia pasti nggak terbayangkan. Di sinilah kita wajib bersyukur. Saat berjumpa dengan pak Durhadi inilah saya terus diingatkan tentang arti sholat.
“Rasanya saya sedih kalo ninggalin sholat,” kata pak Durhadi yang di dalam tas yang dipikulnya selaian alat untuk service, ia juga membawa sarung dan baju bersih untuk keperluan sholat. “Rasanya saya kayak punya hutang.”
Luar biasa! Kaum intelek seperti kita belum tentu berpikir, hubungan sholat dan hutang. Boro-boro mikir, sadar kalo Allah itu eksis saja masih abu-abu. Bener nggak ya Allah ada? Yakin nggak ya surga itu ada?
Kini, usia Durhadi nggak muda lagi. Namun, saya masih melihat semangat untuk berjuang dalam hidup, masih bersinar. Apalagi ia mengaku masih punya anak yang masih kecil, yang masih duduk di bangku SD di pesantren di kampungnya di Cirebon. Sementara dua anaknya sudah besar-besar.
Sebelum meninggalkan rumah saya, pak Durhadi juga bercerita bagaimana dirinya percaya pada rezeki. Saking percaya, ia tidak takut libur kerja di hari Jum’at. Sepanjang hari, khusus di hari Jum’at, ia nggak berkeliling mencari pelanggan.
“Tiap Jum’at, saya libur khusus buat beribadah,” ungkap pak Durhadi yang selama puasa di bulan Ramadhan juga nggak pernah ‘bolong’ puasanya ini. Subhannallah!