Kita tidak perlu menunggu hasil jajak pendapat mutakhir untuk mengetahui
bahwa yang paling dibutuhkan orangtua adalah waktu yang lebih banyak.
Kita berusaha mengatur waktu kita yang sangat berharga, tetapi kita
justru Iebih sering merasa bahwa waktulah yang mengendalikan
kita—membuat kita frustrasi, mudah marah, jengkel, cemas,dan tertekan.
Saya pernah mengamati seorang ibu yang kelelahan menjemput putrinya dari
taman kanak-kanak. Dia menangkap tangan gadis kecil itu dan menariknya
menuju mobilnya yang sudah menunggu, dan cepat-cepat melepaskan
tangannya pada saat si tubuh anak belum seimbang. Gadis itu berjuang
untuk tegak di belakang ibunya, sambil berteriak-teriak menceritakan
pengalamannya hari itu. Ibunya tidak menengok sama sekali.
Seberapa sering kita memburu-buru diri kita sendiri atau anak-anak kita,
tanpa menyadari akibat buruknya? Tentu saja kita bisa bersabar jika
punya waktu, menawarkan bantuan jika tidak merasa tertekan, dan menjalin
komunikasi yang mendalam jika tidak terburu-buru.
Putri saya, Elizabeth, sedang membuat kolase untuk sekolahnya yang
tujuannya adalah mengemukakan aspek-aspek tentang siapa dia sebenarnya.
Dalam huruf tebal dia menulis kata WAKTU. Saya kaget bahwa masalah waktu
ternyata begitu melekat dalam kesadaran anak sekecil itu. Saya jadi
mencermati sikap saya yang selalu ingin tepat waktu, bagaimana saya
menanggapi keterlambatan orang lain, waktu yang tersedia untuk
menyelesaikan tugas, waktu tidur, waktu diam. Apakah saya terlalu sadar
waktu atau sekadar ikut mengalir di dunia tempat saya hidup?
Saya berusaha mengubah sikap saya, tidak lagi menganggap waktu sebagai
sesuatu yang harus diatur, dan mencoba berdamai dengannya. Saya sadar
bahwa mengatur waktu berarti mengatur diri sendiri, bukan waktu itu
sendiri. Rasanya lega ketika akhirnya saya bisa berkata kepada anak-anak
saya, "Dunia tidak akan kiamat meskipun kita terlambat.”
Disadur dari buku SQ untuk Ibu, Penulis: Mimi Doe, Penerbit KAIFA