Pemerintahan Islam
laksana lautan hikmah tak bertepi. Salah satu bukti, ketika Amirul Mukminin,
Umar bin Khattab, dinasihati dengan kata-kata yang tajam oleh seorang nenek.
Saat itu, Umar bahkan dihentikan di tengah jalan.
Setelah saling mengucap salam, si nenek berkata, ''Wahai Umar, dulu kamu
dipanggil Umair di Pasar Ukkaz ketika bergulat dengan pemuda lain. Tak lama
kemudian, kamu dipanggil Umar, dan kini jadi Amir Al Mukminin (pemimpin
orang-orang beriman). Maka, bertakwalah dalam memimpin.''
Mendengarnya, pengawal Umar, Jarud al Abdi, tersinggung. Barangkali, dia merasa
upaya mengingatkan masa lalu seorang kepala negara yang kelam dan penuh
kekerasan adalah sebuah penghinaan.
Sebaliknya, Umar tidak marah. Kepala negara itu hanya butuh beberapa kalimat
untuk meredakan kemarahan dan kekerasan aparatnya. ''Biarkan beliau Jarud. Tak
tahukah engkau siapa dia? Dialah Khaulah binti Hakim yang perkataannya didengar
Allah. Karena itu, Umar lebih wajib mendengarnya.''
Khaulah memang bintang dalam surat Al-Mujadilah setelah suaminya men-zhihar-nya
(menyatakan istri serupa ibu). Firman-Nya, ''Sungguh Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu (Muhammad SAW) tentang
suaminya.'' (QS 58: 1).
Begitulah, hebatnya kuasa kepala negara. Dia mampu mencegah kemungkaran aparat
hanya dengan perintah lisan. Sebab, berkuasa berarti mengayomi rakyat dan nanti
mempertanggungjawabkannya di akhirat. Berkuasa untuk menolong yang lemah dan
dizalimi agar tidak lagi dianiaya. Berkuasa bermakna mencegah yang kuat
merobek-robek jiwa, kehormatan, dan harta yang lemah. Semuanya, mendatangkan
pahala dan ridha-Nya.
Pemerintah yang adil adalah golongan pertama yang mendapat perlindungan di hari
kiamat saat tiada perlindungan kecuali dari-Nya (HR Bukhari). Apalagi, di masa
Islam, relasi penguasa dengan rakyat adalah hubungan persaudaraan dan kasih
sayang, bagaikan ayah dengan anaknya, laksana penggembala dengan gembalaannya.
Penguasa bahkan senang dikritik karena bisa mencegahnya berbuat dosa.
Jika tidak dilakukan pencegahan dan penghentian kekerasan oleh siapa pun,
terutama oleh aparat negara, maka tanggung jawab terbesar berada pada pemegang
kekuasaan terbesar. Jika kezaliman yang menimpa hewan yang jauh dari ibu kota
dan penguasa tidak mengetahuinya saja akan ditanyai Allah di akhirat, apalagi
jika kezaliman itu menimpa banyak manusia dan telah diketahui penguasa serta
rakyat banyak.
Bukankah Umar menyatakan dirinya takut jika seekor kambing di Sungai Furat,
Irak, kelaparan? Imam Sufyan Ats-Tsauri menegaskan, ''Seperti Firaun
menghancurkan Haman (menteri Firaun), maka Haman-lah penyebab binasanya
Firaun.''