Anda mungkin pernah membaca tulisan saya “BAGAIMANA RASANYA
TIDAK PAKAI JILBAB“ tentang pengalaman Nadia El-Awady, ibu 4 anak dari
Kairo, President World Federation of Science Journalist ketika dia
mencoba untuk tampil tanpa jilbab didepan umum yang sudah dikenakannya
selama 25 tahun. Ia berfikir mengapa memakai jilbab dianggap wajib.
Apakah benar-benar wajib atau hanya keputusan sekelompok laki-laki yang
menganggap paling sesuai pada zaman itu untuk melindungi kaum wanita?
Apa harus sama sampai sekarang? Berikut ini satu lagi topik mengenai
jilbab dari aspek yang sangat berbeda yang kebetulan melibatkan seorang
wanita asal Kairo juga yaitu Leila Ahmad (72 th.) professor Harvard,
pakar theology dengan minat kuhusus dalam bidang feminisme Islam. Ia
akan menerima penghargaan Grawemeyer Award untuk bidang Agama 2013 dari
Universitas Louisville berkat bukunya “Revolusi Damai: Kebangkitan
Jilbab, dari Timur Tengah sampai Amerika”. (A Quiet Revolution: The
Veil’s Resurgence in…)
Ia dianggap berjasa untuk ide-ide yang dituangkan dalam bukunya itu.
Ia bukan saja berhasil menjelaskan berbagai makna jilbab dalam tradisi
Islam yang beragam, tetapi yang paling penting analisanya bahwa terutama
di Amerika sesudah peristiwa serangan WTC 11 Sept. 2001, jilbab membawa
makna baru dalam interaksi antara gerakan Islam dan tradisi Amerika
dalam perjuangan untuk kebebasan dan keadilan. Profesor Shannon pada
pemberian penghargaan itu mengatakan: “Buku itu merupakan pembuka mata
yang luar biasa yang memberikan pendidikan, wawasan dan harapan.”
Dimasa muda Leila di Mesir wanita yang mengenakan jilbab menunjukkan
atau dianggap bahwa mereka adalah muslimah yang taat. Dia ingin tahu
mengapa jilbab kembali mengalami masa jaya sekarang.
Leila Amad
mengamati bahwa dalam 10 tahun terakhir ini, semakin banyak wanita Islam
di Amerika yang sehari-hari mengenakan jilbab. Pada mulanya ia
menyangka bahwa ini ada hubungannya dengan gerakan Islam fundamentalis,
atau penolakan terhadap kesetaraan gender dari pengaruh dominasi kaum
pria dalam dunia Islam (yang ia sebut sebagai Islam Patriarkal). Tetapi
dalam penelitiannya ia menemukan fakta yang sebaliknya yaitu sebagian
mereka mengenakan jilbab sebagai symbol gerakan untuk perubahan sosial
dan keadilan.
Setelah mewawancarai banyak wanita Islam dari berbagai latar belakang
diseluruh dunia ( para feminis, nasionalis Arab, putri-putri Islam yang
saleh dan para aktivis) ia mengungkapkan bahwa banyak dari mereka
mengenakan jilbab sebagai symbol suatu gerakan dan untuk menegaskan
identitas mereka, terutama di Amerika setelah 11 September 2001. Dengan
jilbab mereka ingin mengatakan “Saya bangga menjadi Muslim dan saya
ingin menunjukkan kepada anda, anda tidak usah berprasangka buruk
terhadap orang Islam”.
Sebagian lain berharap jilbab mereka akan membuat
wanita lain berpipikir tentang gaya berpakaian mereka sendiri serta
sebagai bukti keadilan sosial dan pengabdian. Sementara aktivisme sering
memotivasi wanita untuk mengenakan jilbab, komitmen agama tetap menjadi
alasan penting juga. "Banyak wanita mengenakan jilbab karena mereka
percaya bahwa Allah menghendaki demikian" kata Leila Ahmed. Ia
berpendapat bahwa dalam konteks Islam di Amerika masa kini, memakai
jilbab jutru dapat menandakan tuntutan kesetaraan.
Sebelum pindah ke Amerika sebagai pengajar dan penulis, Leila yang
kelahiran Kairo 1940 memperoleh gelar Doktornya dari Universita
Cambridge Inggris. Ia memfokuskan diri pada femisnisme Islam, terkenal
karena karyanya tentang status historis dan sosial wanita dalam
komunitas muslim. Ia khusus meneliti peran wanita dalam kaitannya dengan
Islam, dan giat memerangi anggapan yang salah tentang wanita Islam baik
didalam maupun diluar dunia Islam.
Dalam hampir semua tulisannya ia
berusaha untuk menghilangkan mitos serta kesalah-fahaman tentang Islam
yang dipegang oleh orang-orang non muslim.