PENGERTIAN RISYWAH (SUAP):
Yang dimaksud risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah Al-Munir I/228).
Sedangkan Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits II/546).
Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
- HUKUM SUAP DALAM TINJAUAN SYARIAH
Terdapat banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dalil dari Al-Qur’an Al-Karim, firman Allah Ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”. (QS. Al-Maidah: 42).
Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu yang haram) adalah
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an II/711).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”. (Lihat Az-Zawajir ‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).
2. Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2211).
عن ثوبان قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits ini dinyatakan Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
3. Dalil Ijma’
Para ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah merahmati mereka semua. (Lihat Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).
Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an VI/119).
Imam Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). (Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Lihat Taudhihul Ahkam VII/119).
KAPAN MEMBERIKAN SUAP MENJADI HALAL?
Pada dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah kami sebutkan di atas. Hal ini karena terkandung di dalamnya banyak unsur kezholiman, seperti menzholimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.
Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal apabila tidak mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau dipersulit oleh pihak tertentu, atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan kepada penerima suap.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
Maka dari itu, sebagai contoh, apabila ada seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima, atau ada seseorang telah mengajukan permohonan KTP, SIM, PASPOR kepada pihak yang berwenang dengan syarat-syarat administrasi yang lengkap. Namun pada saat pengambilan hak nomor NIP tidak bisa keluar, atau SIM, KTP, dan PASPOR tidak dapat diperoleh karena pihak berwenang meminta sejumlah uang. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya ia melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak terkait yang berwenang mengawasi, menegur dan menjatuhkan sanksi kepada mereka serta memberikan hak kepada para pemilik hak. Akan tetapi jika seseorang hidup di suatu Negara yang tidak bisa memberikan jaminan hak kepada yang berhak menerimanya, maka pada kondisi seperti ini dibolehkan bagi calon PNS, dan orang yang mengajukan permohonan SIM, KTP dan PASPOR tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang agar Ia bisa mempunyai NIP dan memperoleh KTP, SIM dan PASPOR. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut ia lakukan karena terpaksa dan hanya untuk mengambil hak dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang. Wallahu a’lam bish-showab.
HUKUM GAJI DARI PEKERJAAN YANG DIPEROLEH KARENA SUAP
Kita semua telah sepakat bahwa mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap padahal ia tidak berhak mendapatkannya adalah haram hukumnya. Karena terkandung di dalamnya perbuatan menzholimi hak orang lain yang semestinya diterima dan mendapatkan pekerjaan itu namun ia terhalang dan tertolak lantaran ada orang lain yang menyuap panitia atau pihak penerimaan para karyawan atau pegawai.
Namun yang menjadi permasalahan di sini, apakah gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan suap itu juga selamanya haram bagi si pemberi suap atau bisa berubah menjadi halal? Atau dengan kata lain, apakah suap itu merupakan sesuatu yang terpisah dan dosanya tidak berpengaruh terhadap status gajinya?
Maka kita katakan, bahwa jika orang yang memberi suap itu adalah orang yang berhak dan tepat terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya itu, maka gaji yang didapatnya adalah HALAL karena gaji itu merupakan imbalan bagi pekerjaannya. Dan disyaratkan untuk kehalalan gajinya itu adalah ia bekerja dengan baik dan melakukan tuntutan pekerjaannya. Apabila ia tidak melaksanakan tuntutan kerja dan tidak bekerja dengan baik, maka hukum gajinya adalah haram. Karena ia telah menyia-nyiakan amanah pekerjaan yang dibebankan kepada dirinya.
Namun sebaliknya, jika si pekerja yang mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap itu tidak berhak diterima karena tidak professional terhadap pekerjaannya dan selama mengemban amanah kerja, ia tidak pernah menunaikannya dengan baik dan benar, maka hukum gaji yang diperolehnya itu HARAM.
Demikian penjelasan singkat seputar hokum suap-menyuap menurut pandangan Islam yang dapat kami sampaikan pada edisi kali ini. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Sumber : Majalah PENGUSAHA MUSLIM, edisi bulan April 2012