Mengatakan atau dikatakan berwajah jelek adalah sesuatu yang tidak enak. Kejam dan tidak adil rasanya karena penghormatan masyarakat, sukses kerja dan perjodohan banyak dipengaruhi oleh citra fisik seseorang. Sudah tradisi umum untuk mengkaitkan keindahan dengan kebaikan dan keburukan dengan kejahatan. Meskipun tidak benar selalu saja keburukan dijadikan ciri kejahatan dan ketampanan sebagai ciri kebaikan. Kita selalu menontonnya dalam film-film. Sementara itu kita menyaksikan banyak orang yang tidak puas dengan wajah asli mereka. Anak-anak perempuan kita menyesali rambut keriting dan hidung peseknya. Banyak wanita di China mengoperasi mata sipit mereka supaya nampak universal dan mengoperasi bibir mereka supaya lebih mudah untuk mengucapkan bahasa Inggris. Mata sipit dan hidung pesek orisinil dari Allah yang Maha Pencipta ternyata banyak yang tidak suka. Demi karir dan penampilan. Bisa kita maklumi dan tidak mungkin dicegah karena sudah menjadi kegiatan industri.
Konon Socrates filosof Yunani yang terkenal itu berwajah buruk. Matanya menonjol keluar seperti mata kepiting, hidungnya pesek dengan lubang yang lebar menghadap kedepan. Tetapi ia membela cacat tubuhnya dengan mengatakan bahwa mata yang demikianlah yang lebih sempurna dan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Dengan sedikit menggerakkan bola mata, mata kepiting bisa melihat hampir kesegala arah daripada mata indah yang hanya dapat mengarah kedepan. Hidung pesek juga lebih unggul daripada hidung mancung karena tidak menimbulkan penghalang diantara kedua mata dan memungkinkan pandangan bebas tanpa halangan apapun. Sementara hidung mancung menyekat pandangan satu mata dengan yang lain. Lubang hidungnya yang terlalu lebar, bukankah hidung berfungsi untuk mencium? Lubang yang lebar dan mengarah kedepan lebih baik karena dapat menangkap bau-bauan dari segala arah ketimbang lubang sempit dari hidung mancung yang mengarah kebawah. Socrates menggunakan kejelekan wajahnya sebagai sentuhan filosofis dengan menyimpulkan bahwa filsafat dapat menyelamatkan kita dari keburukan lahiriah.
Yang lebih buruk muka dari Socrates adalah Jean-Paul Sartre, filosof eksitensialis kiri dari Perancis (1905-1980) dengan mata malas dan juling, wajah tak simetris dan tubuh pendek. Baginya cacat fisiknya itu merupakan aspek sentral dari kepribadiannya. Ide-ide filsafatnya banyak berkaitan dengan perjuangan seumur hidupnya untuk berdamai dengan cacat fisiknya yang menyolok mata itu. Semasa kecil Sartre adalah anak mama, dimanja dan diperlakukan seperti boneka. Rambutnya dipanjangkan dan disisir rapih dengan baju yang berenda-renda. Ibunya memanggilnya Polo yang manis. Kakeknya Karl Schweitzer, tokoh terhormat dengan jenggot yang berwibawa merasa sebal melihat cucunya yang seperti anak perempuan. Dibawanya ia ketukang cukur dan dipangkasnya rambutnya. Ibunya menangis frustrasi karena wajah Paul nampak jelek sekali. Tanpa rambut keriting panjang dan pakaian mewah Sartre kecil nampak sekali cacatnya. Para biographer menggambarkan wajah Sartre memang jelek. Dengan mata juling dan rabun sebelah ia kelihatan selalu curiga dan tidak jelas perhatiannya. Teman-temannya menggambarkannya seperti kodok berkaca-mata dan kelewat pendek. Satu-satunya kepuasan Jean-Paul adalah rasa percaya dirinya; ia tahu bahwa ia lebih cerdas dari anak-anak lain.
Menyikapi ketidak-sempurnaan fisik orang lain maupun diri sendiri dengan rendah hati adalah penting karena karena dapat berakhir dengan kufur atau syukur, sombong atau frustrasi.
Sumber:
Pakde Jum'an Basalim
Copyright@PKPTII
0 Comments