Advertisement

Responsive Advertisement

Tazkiyatun Nufus

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang”. (QS. Al- A’la: 14-15)
Tanda-tanda Kebahagiaan
Imam Ibnu Al-Qayyim Rahlinaluillah menyebutkan bahwa indikasi kebahagiaan seorang hamba ada tiga perkara. Yakni, jika diberi nikmat maka ia bersyukur, jika diuji dengan musibah dia bersabar dan jika dia berdosa maka segera memohon ampun.
Beliau berkata, “ketiga perkara tersebut adalah indikasi kebahagiaan seorang hamba, tanda-tanda bahwa la mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Seorang hamba tidak akan stabil posisinya di antara tiga hal tersebut. Dan seorang hamba akan senantiasa turun naik derajatnya dalam tiga kondisi tersebut.
Syukur Terhadap Nikmat
Nikmat-nikmat Allah Ta’ala melimpah ruah, sedangkan pengikatnya adalah Syukur. Syukur dibangun di atas tiga rukun, yakni: mengakuinya di dalam bathin, menyebutnya secara dhahir dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan ridha Pemberinya. Jika seorang melakukan hal itu, berarti dia telah bersyukur kendati terkadang ada kekurangan dalam mensyukurinya.
Sabar Menghadapi Bala’
Terhadap ujian dari Allah Ta’ala yang menimpa seorang hamba, wajib baginya untuk bersabar dan merelakannya. Adapun rukun sabar adalah menahan jiwa dari perasaan jengkel terhadap takdir yang menimpa dirinya, mencegah lisan mengeluh dan menjaga anggota badan dari berbuat maksiat seperti menampar pipi, merobek baju, menjambak rambut (karena histeris) dan semisalnya.
Maka ruang lingkup sabar berkisar pada tiga rukun tersebut, jika seorang hamba menegakkan sebagaimana mestinya, niscaya ujian akan berubah menjadi anugerah, bala’ menjadi karunia dan benci menjadi rasa cinta.
Hikmah dari Bala’
Jika Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan bala’, tidaklah hal itu bertujuan untuk menyengsarakan hamba-Nya. Akan tetapi Dia menimpakan bala’ adalah untuk menguji kesabaran dan kesungguhan ibadahnya. Karena bagi Allahlah ibadah seorang hamba tatkala berada dalam kesempitan, sebagaimana bagi-Nya pula ubudiyah hamba di kala lapang. Bagi-Nyalah ubudiyah hamba dalam perkara yang tidak ia suka, sebagaimana bagi-Nya pula ubudiyah hamba dalam perkara yang dia suka.
Kebanyakan manusia hanya mempersembahkan ubudiyah dalam hal-hal yang mereka sukai, namun bakhil untuk memberikan ubudiyah dalam hal yang tidak mereka suka. Oleh karena itulah kedudukan hamba itu bertingkat-tingkat di sisi Allah Ta’ala sesuai dengan tingkatan ubudiyahnya kepada-Nya.
Wudhu dengan air dingin dalam suasana yang amat panas adalah ibadah, bermuka manis di hadapan istri cantik yang dicintai adalah ibadah, memberikan nafkah kepadanya, keluarganya dan dirinya sendiri adalah ibadah.
Demikian halnya wudhu dengan air dingin di saat suasana yang sangat dingin adalah ibadah, meninggalkan maksiat di saat nafsu sangat memuncak adalah ibadah, dan menafkahkan harta dikala sempit merupakan ibadah. Akan tetapi kendati sama-sama ibadah ada perbedaan tingkatan yang jauh anatar dua macam ibadah di atas.
Nikmat Dibukanya Pintu Taubat
Taubat adalah penyesalan. Jika Allah Ta’ala menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka akan dibukakan baginya pintu-pintu taubat, penyesalan dan kekecewaan, merasa hina di hadapan Allah Ta’ala, fakir dihadapan-Nya, memohon pertolongan-Nya, tulus kembali kepada-Nya, terus menerus tadharru’, berdo’a, taqarrub kepada-Nya dengan segala kebaikan semaksimal mungkin yang dapat ia kerjakan, hingga keburukan yang telah ia kerjakan menjadi sebab baginya  untuk mendapatkan rahmat (karena ia mau bertaubat).
Sampai-sampai musuh Allah Ta’ala (syetan) berkata, “duhai seandainya dahulu aku tidak menggodanya dan menjerumuskannya ke dalam dosa..!” Inilah maksud perkataan sebagian salaf, “sesungguhnya ada seorang hamba yang berbuat dosa namun ia masuk jannah karenanya, dan ada seorang hamba yang berbuat baik namun ia masuk neraka karenanya.” Orang-orang bertanya, “bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau menjawab,”seorang hamba melakukan dosa namun kemudian meneteslah air matanya karena takut, khawatir, menangis karena menyesal dan malu kepada Allah Ta’ala. Dia menundukkan kepalanya di hadapan Allah Ta’ala, seakan hatinya pecah, hingga dosa yang dia kerjakan menjadi sebab baginya untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan. Sehingga dosa yang ia kerjakan (lalu dia bertaubat) itu lebih bermanfaat dari banyaknya ketaatan yang dapat menyebabkan datangnya kebahagiaan seorang hamba dan keberun-tungannya. Maka dosa tersebut menjadi sebab baginya untuk masuk jannah.
Bahaya Ujub dan Ghurur
Adapun seseorang yang melakukan kebaikan lalu dengannya ia membangga-banggakan di hadapan Allah Ta’ala, berlaku takabbur dengannya, pamer, ujub dan membesar-besarkannya, dia berkata, “aku telah mengerjakan, aku telah mengerjakan” kemudian menyebabkan dirinya berbangga dan sombong, menonjolkan diri dan membesar-besarkan amalnya hingga akhimya la binasa karenanya. Jika Allah Ta’ala menghendaki orang ini baik,maka Allah Ta’ala akan memberikan bala’kepadanya dengan sesuatu yang akan menghancurkan kesombongannya, membuat lehernya tertunduk, dan merasa hina dihadapanNya. Namun jika Allah Ta’ala menghendaki selain itu, maka dibiarkannya ia dengan rasa ujub dan kesombongannya, dan jika Allah Ta’ala membiarkannya, itu pertanda ia akan binasa.
Tanda Diberi Taufik
Sesungguhnya orang-orang bijak telah sepakat bahwa taufik berarti Allah Ta’ala tidak menelantarkan jiwamu, sedangkan khudzlan adalah Allah Ta’ala  menyerahkan jiwamu kepada dirimu sendiri (menelantarkan Jiwamu-). Maka barangsiapa yang dikehendaki Allah Ta’ala mendapat kebaikan, niscaya Allah Ta’ala membuka baginya perasaan hina di hadapan Allah Ta’ala, senantiasa bersandar kepada Allah Ta’ala, merasa butuh dengan-Nya, menyadari akan aib dan kebodohan dirinya, kedzalimandan pembangkangannya. Dalam waktu yang bersamaan dia mengakui akan karunia Allah Ta’ala dan kebaikan-Nya, rahmat-Nya, wujud-Nya, Maha kaya dan segala sifat-Nya yang terpuji.
Seorang yang bijak, berjalan menuju Allah Ta’ala dengan kedua sayap ini, tidak mungkin berjalan melainkan dengan keduanya. Manakala hilang salah satu darinya, maka bagaikan burung yang kehilangan sebelah sayapnya.
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata, “Seorang yang bijak berjalan menuju Allah Ta’ala di antara dua keadaan yakni mengakui karunia Allah Ta’ala dan menyadari aib diri dan kekurangan amalnya.”Inilah makna yang terkandung dalam sabda Rasulullah SAW di dalam hadits yang shahih: “Sayyidul istighfar adalah hendaknya seseorang membaca: “Ya Allah, Engkaulah Rabbku, tidak ada ilah yang haq kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku, clan aku adalah hamba-Mu, dan aku berusaha memenuhi janji-Mu semampuku. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari buruknya apa yang aku kerjakan, aku mengakui nikmat-Mu atasku, dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau.” (HR Al-Bukhari) Terkumpullah dalam hadits Nabi SAW tersebut “aku mengakui nikmat-Mu atasku, dan aku mengakui dosaku “yakni mengakui nikmat Allah Ta’ala dan mengakui aib dirinya dan kekurangan amalnya. Merasakan nikmat akan menumbuhkan kecintaan, dan rasa syukur kepada Pemberi nikmat dan kebaikan. Sedangkan mengakui aib dirinya dan kekurangan amalnya akan menumbuhkan rasa rendah, fakir di hadapan Allah Ta’ala dan bertaubat pada setiap kesempatan.
Inti Ibadah
Inti ibadah terletak pada dua kaidah dasar, yakni hubbun kaamil (kecintaan yang sempurna) dan dzullun taam (perasaan rendah secara sempurna). Kedua asas tersebut tergantung kepada dua asas yang sebelumnya. Yakni merasakan nikmat/karunia yang akan menimbulkan kecintaan  dan merasakan aib dan kekuarangan amalnya yang akan menimbulkan perasaan rendah secara sempurna. Jika seorang hamba membangun kepribadiannya di jalan Allah Ta’ala dengan dua landasan tersebut, niscaya musuh tidak akan berhasil mengalahkannya, kecuali jika ia dalam keadaan lengah dan lalai, itupun kemudian Allah Ta’ala akan segera memenangkan musuhnya kembali, dan ia mendapatkan miliknya kembali dengan rahmat-Nya.
Wallahu “Alam
Iqbal Quro

Post a Comment

0 Comments