oleh Ahmad Fauzan Ibnu Zaend pada 4 Desember 2011 pukul 18:08
Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu
akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. "Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada
Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang benar." (QS Al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah
saw bersabda, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik
atau diam". (HR Bukhari-Muslim).
Rasulullah adalah figur teladan yang sangat menjaga kata-katanya. Beliau berbicara, beruap,
berdialog, juga berkhutbah di hadapan jamaah dengan akhlak. Demikian tinggi akhlak beliau hingga
disebutkan bahwa kualitas akhlak beliau adalah Al-Quran.
Mulut manusia itu seperti moncong teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin
tahu isi teko, cukup lihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin
mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan oleh mulutnya.
Nabi Muhammad saw termasuk orang yang sangat jarang berbicara. Namun, sekalinya berbicara, isi
pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya. Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap
kata yang terucap adalah butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu, dan
monumental. Ucapan Rasulullah saw menembus hati, menggugah kesadaran, menghujam dalam jiwa, dan
mengubah perilaku orang (atas izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah
dan posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih
dari itu, Rasulullah sejak kecil sudah dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau
sekali saja. Investasi moral ini tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapannya.
Dalam sebuah kitab ada keterangan menarik. Disebutkan ada empat jenis manusia diukur dari
kualitas pembicaraannya.
Pertama, orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide,
gagasan, solusi, ilmu, dzikir, dan sebagainya. Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi
dirinya sendiri, juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun
ngobrol, ujungnya adalah manfaat.
Ketika disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas dia menjawab, "Krisis adalah
peluang bagi kita untuk mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan
lebih kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa,
semangat terus!" Siapa saja yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal
serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.
Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan
peristiwa. Melihat ada kereta api terguling, dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang
kelindes kereta. Ketika bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya
ada apa saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada
peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak.
Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada
masalah dengan peristiwa. Jika melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya,
insya Allah peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju
kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
Ketiga, orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina.
Apa saja bisa jadi bahan keluhan. "Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini
kayak-nya banyak masalah, nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera
berhamburan. "Makanan kok dingin begini? Coba kalau ada sambel, tentu lebih nikmat. Aduuuh,
kerupuk ini, kenapa kecil-kecil begini?" Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua
akhirnya habis juga.
Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa
keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci. "Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek.
Jemuran nggak kering-kering." Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah,
mengeluh. Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya.
Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh
keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah. Seluruh lembar hidupnya
dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak dikeluhkan.
Keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari
menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah
pengabdian untuk Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?
Ada orang pakai cincin segera berkomentar, "Oh, itu sih mirip cincin saya." Ada orang beli
mobil baru, "Nah, ini seperti yang di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat,
"Kucing ini gondrong. Oh yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah pernah
ke Singapura, lho. Hebat sekali kota Singapura. Hanya orang yang hebat saja bisa pergi ke sana."
Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan
kata-kata kesombongan dan membanggakan diri.
Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya. Dia
selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih
baik, hatinya teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah
ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya
minta dihargai terus.
Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh
etika-etika. Hendaklah kita ada di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa
yang Allah larang.
Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah perbuatan yang ringan,
bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja,
apalagi dengan kesadaran penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa besar.
"Dan janganlah kalian ber-ghibah (bergunjing) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain.
Apakah suka salah-seorang dari kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan
sangat jijik kepadanya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat." (QS Al-Hujurat:12).
Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri
kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk,
yang buruk adalah banyak berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi
harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita
lakukan hal itu. Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak
proporsional.
Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli apakah itu orang-orang yang dianggap ahli
agama. Orang-orang yang pandai membaca Al-Quran atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah
terjaga. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu
kata-kata kita semakin meningkat.
Alangkah ironi jika orang-orang yang ahli agama, namun tidak menjaga lisan. Dia banyak
menasihati umat dengan perilaku-perilaku yang baik, tapi saat yang sama dia tidak melakukan hal
itu. Jika orang-orang preman berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih
maklum. Namun, jika orang-orang alim yang melakukannya, tentu ini adalah bencana serius.
Satu langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai mengurangi jumlah
kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara,
peluang tergelincir lidah semakin lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali,
kehormatan kita seketika akan runtuh. Berbahagialah bagi siapa yang bisa berkata dengan akhlak
tinggi. Selalu berkata baik. Jika tidak, cukup diam saja!
Saudaraku, sadarilah bahwa lidah ini adalah amanah. Tiap-tiap kata yang terucap darinya kelak
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadikan ucapan-ucapan kita adalah modal untuk
mengundang keridhaan Allah. Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan
kebencian-Nya.
Semoga Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti keteladanan Rasulullah saw.
Ucapan itu keluar dari lisan bagai untaian mutiara yang sarat dengan kebenaran, berharga,
bermutu, dan membawa maslahat bagi siapa pun yang mendengarkannya. Amin. Wallahu a'lam bish
shawab.
akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. "Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada
Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang benar." (QS Al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah
saw bersabda, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik
atau diam". (HR Bukhari-Muslim).
Rasulullah adalah figur teladan yang sangat menjaga kata-katanya. Beliau berbicara, beruap,
berdialog, juga berkhutbah di hadapan jamaah dengan akhlak. Demikian tinggi akhlak beliau hingga
disebutkan bahwa kualitas akhlak beliau adalah Al-Quran.
Mulut manusia itu seperti moncong teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin
tahu isi teko, cukup lihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin
mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan oleh mulutnya.
Nabi Muhammad saw termasuk orang yang sangat jarang berbicara. Namun, sekalinya berbicara, isi
pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya. Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap
kata yang terucap adalah butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu, dan
monumental. Ucapan Rasulullah saw menembus hati, menggugah kesadaran, menghujam dalam jiwa, dan
mengubah perilaku orang (atas izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah
dan posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih
dari itu, Rasulullah sejak kecil sudah dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau
sekali saja. Investasi moral ini tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapannya.
Dalam sebuah kitab ada keterangan menarik. Disebutkan ada empat jenis manusia diukur dari
kualitas pembicaraannya.
Pertama, orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide,
gagasan, solusi, ilmu, dzikir, dan sebagainya. Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi
dirinya sendiri, juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun
ngobrol, ujungnya adalah manfaat.
Ketika disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas dia menjawab, "Krisis adalah
peluang bagi kita untuk mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan
lebih kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa,
semangat terus!" Siapa saja yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal
serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.
Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan
peristiwa. Melihat ada kereta api terguling, dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang
kelindes kereta. Ketika bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya
ada apa saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada
peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak.
Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada
masalah dengan peristiwa. Jika melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya,
insya Allah peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju
kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
Ketiga, orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina.
Apa saja bisa jadi bahan keluhan. "Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini
kayak-nya banyak masalah, nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera
berhamburan. "Makanan kok dingin begini? Coba kalau ada sambel, tentu lebih nikmat. Aduuuh,
kerupuk ini, kenapa kecil-kecil begini?" Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua
akhirnya habis juga.
Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa
keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci. "Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek.
Jemuran nggak kering-kering." Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah,
mengeluh. Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya.
Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh
keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah. Seluruh lembar hidupnya
dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak dikeluhkan.
Keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari
menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah
pengabdian untuk Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?
Ada orang pakai cincin segera berkomentar, "Oh, itu sih mirip cincin saya." Ada orang beli
mobil baru, "Nah, ini seperti yang di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat,
"Kucing ini gondrong. Oh yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah pernah
ke Singapura, lho. Hebat sekali kota Singapura. Hanya orang yang hebat saja bisa pergi ke sana."
Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan
kata-kata kesombongan dan membanggakan diri.
Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya. Dia
selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih
baik, hatinya teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah
ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya
minta dihargai terus.
Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh
etika-etika. Hendaklah kita ada di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa
yang Allah larang.
Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah perbuatan yang ringan,
bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja,
apalagi dengan kesadaran penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa besar.
"Dan janganlah kalian ber-ghibah (bergunjing) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain.
Apakah suka salah-seorang dari kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan
sangat jijik kepadanya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat." (QS Al-Hujurat:12).
Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri
kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk,
yang buruk adalah banyak berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi
harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita
lakukan hal itu. Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak
proporsional.
Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli apakah itu orang-orang yang dianggap ahli
agama. Orang-orang yang pandai membaca Al-Quran atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah
terjaga. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu
kata-kata kita semakin meningkat.
Alangkah ironi jika orang-orang yang ahli agama, namun tidak menjaga lisan. Dia banyak
menasihati umat dengan perilaku-perilaku yang baik, tapi saat yang sama dia tidak melakukan hal
itu. Jika orang-orang preman berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih
maklum. Namun, jika orang-orang alim yang melakukannya, tentu ini adalah bencana serius.
Satu langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai mengurangi jumlah
kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara,
peluang tergelincir lidah semakin lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali,
kehormatan kita seketika akan runtuh. Berbahagialah bagi siapa yang bisa berkata dengan akhlak
tinggi. Selalu berkata baik. Jika tidak, cukup diam saja!
Saudaraku, sadarilah bahwa lidah ini adalah amanah. Tiap-tiap kata yang terucap darinya kelak
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadikan ucapan-ucapan kita adalah modal untuk
mengundang keridhaan Allah. Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan
kebencian-Nya.
Semoga Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti keteladanan Rasulullah saw.
Ucapan itu keluar dari lisan bagai untaian mutiara yang sarat dengan kebenaran, berharga,
bermutu, dan membawa maslahat bagi siapa pun yang mendengarkannya. Amin. Wallahu a'lam bish
shawab.