Advertisement

Responsive Advertisement

Meng-gosip yang Terlarang dan yang Boleh

oleh Ahmad Fauzan Zaend pada 12 Juli 2010 jam 1:51
(Di salin Dari Facebook Lama "zanskiey@hotmail.com")
Sejauh ini, saya memandang bahwa ghibah atau bergosip memang merupakan perbuatan dosa yang hampir setiap orang melakukannya atau bahkan menyukainya.

Berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah artinya menyebutkan (keadaan) seseorang yang tidak disenanginya ketika orang tersebut tidak ada di tempat. Ghibah berdosa karena menunjukkan adanya kezaliman terhadap orang lain dengan menyakiti hati orang yang digunjingkan.

Dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 12 disebutkan bahwasannya ghibah pada saudara seiman sama artinya dengan memakan bangkai saudara tersebut. Ditinjau dari sudut pandang dosa, boleh jadi hal ini menunjukkan besarnya dosa ghibah. Dari sudut pandang kemanusiaan, tentu perilaku (memakan bangkai) tersebut sangatlah menjijikkan dan tidak normal.

Meski begitu, para ulama sepakat bahwa ada enam hal yang memperbolehkan kita membicarakan orang lain.
Keenam hal tersebut yaitu:


1. Membicarakan orang yang akan berbuat zalim (kepada kita) kepada orang yang dianggap mampu menangani masalah tersebut.
2. Membicarakan orang yang berbuat munkar kepada orang yang kita mintai bantuan untuk mengubah kemunkaran tersebut.
3. Membicarakan orang untuk dimintakan fatwa (mengenai orang tersebut).
4. Membicarakan orang untuk dijadikan cermin dalam kehiduan sehari-hari tanpa perlu menyebutkan nama orang yang bersangkutan (jika memang tidak diperlukan).
5. Mengumumkan atau menerangkan kefasikan seperti pemakaian narkoba yang oleh pecandunya hal tersebut begitu dibangga-banggakan.
6. Mengetahui identitas orang yang diperlukan karena tidak cukup hanya dengan mengenal namanya saja.

Jika kita mendapati siapa pun yang sedang ber-ghibah, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menasihati secara baik-baik agar orang yang bersangkutan menghentikan perbuatannya. Jika tidak juga berhenti atau memang kita tidak mampu menghentikannya, maka sekurang-kurangnya hindarilah pembicaraan tersebut.

Hal ini merujuk pada dalil umum yang disebutkan dalam hadits berikut, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim). Wallahu a’lam.

Post a Comment

0 Comments