(diambil dari Tafsir Fi zhilalil Qur'an, Sayyid Qutb, jild 7,hal 83-84)
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim:7)
Kita berhenti (merenung) di hadapan hakikat besar ini. Yakni, hakikat bertambahnya nikmat dengan syukur dan ditimpakannya azab yang pedih karena ingkar (terhadap nikmat). Kita berhenti di hadapan hakikat ini dengan hati tentram dan mantap sejak semula. Sebab,hal itu adalah janji yang pasti benar, sehingga janji itu mesti terwujud dalam keadaan apapun.Jika kita ingin melihat kebenaran hakikat itu dalam kehidupan dan bermaksud mencari sebab-sebabnya yang bisa kita peroleh, maka sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh untuk menemukan sebab-sebab itu.
Sesungguhnya syukur atas nikmat adalah dalil bagi lurusnya barometer dalam jiwa manusia. Kebajikan itu(harus)disyukuri, sebab syukur adalah balasan alamiahnya dalam fitrah yang lurus. Inilah satu prinsip syukur. Prinsip lainnya adalah bahwa jiwa yang bersyukur kepada Allah atas nikmatnya itu akan selalu bermuraqabah (mendekatkan diri)kepadanya dalam mendayagunakan kenikmatan tersebut, dengan tidak disertai:
1. Pengingkaran terhadap nikmat itu
2. Perasaan menang atau unggul terhadap makhluk
3. Penyalahgunaan nikmat itu untuk melakukan kekejian, kejahatan, tindakan kotor, dan
pengrusakan.
Kedua prinsip syukur diatas adalah termasuk perkara yang bisa memberikan empat manfaat:
1. Mensucikan jiwa
2. Mendorong jiwa beramal shaleh dan mendayagunakan kenikmatan secara baik melalui hal-hal yang dapat menumbuhkembangkan kenikmatan itu serta diberkati di dalamnya.
3. Menjadikan orang lain ridha dan senang kepada jiwa itu dan kepada pemiliknya, sehingga mereka mau membantu dan menolongnya.
4. Memperbaiki dan melancarkan berbagai bentuk interaksi sosial dalam masyarakat. Sehingga harta benda dan kekayaan dapat tumbuh dan berkembang dengan aman.
Masih banyak sebab alamiah lainnya yang terlihat di masyarakat,meskipun sebenarnya janji Allah itu sendiri sudah cukup untuk menenteramkan dan memantapkan hati orang mukmin, baik ia menemukan sebab-sebab itu maupun tidak menemukannya. Itu adalah sesuatu yang hak dan nyata, sebab merupakan janji Allah.
Pengingkaran terhadap nikmat Allah itu bisa terjadi dengan tiga sebab:
1. Tidak mau mensyukurinya
2. Mengigkari keberadaan Allah sebagai pemberi nikmat dan menisbatkan kenikmatan itu kepada ilmu, pengetahuan, pengalaman, jerih payah pribadi, dan hasil berusaha. Sehingga seakan-akan berbagai kemampuan dan keahlian ini bukanlah termasuk nikmat Allah.
3. Menggunakannya dengan cara yang buruk, misalnya menganggap remeh, berlaku sombong kepada manusia atau menghambur-hamburkannya untuk berbuat kerusakan dan menuruti berbagai keinginan (syahwat). Semua itu adalah bentuk-bentuk pengingkaran kepada nikmat Allah SWT.
Siksaan yang pedih itu bisa berupa musnahnya kenikmatan yang nyata atau kenikmatan itu dirasakan tiada bekasnya. Betapa banyak kenikmatan yang pada hakikatnya adalah bencana yang mencelakakan pemiliknya dan membuat dengki orang -orang yang menginginkan lepasnya kenikmatan itu. Siksa yang pedih juga bisa berupa azab yang ditangguhkan sampai masa ditentukan, ketika masih berada di bumi ini atau saat di akhirat kelak, sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Namun yang terang dan nyata adalah bahwa mengingkari nikmat Allah tidak akan berlalu dengan tanpa balasan yang buruk.
Bersyukur itu manfaatnya tidak kembali kepada ALlah, dan ingkar (kufur) itu bekas dan efeknya juga tidak kembali kepada-Nya. Allah itu Maha Kaya dengan Diri-Nya lagi Maha Terpuji dengan Diri-Nya, bukan dengan pujian manusia dan syukur mereka atas pemberian-Nya,
Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS Ibrahim:8)
Kebaikan dan kemashlahatan hidup itu hanya bisa terwujud dengan bersyukur. Jiwa manusia itu hanya bisa bersih dan mengorientasikan diri kepada Allah, menjadi lurus deangn mensyukuri kebajikan, dan menjadi tentram dengan berhubungan dengan Sang Pemberi Nikmat. Dengan semua itu, ia tidak merasa khawatir dan takut akan lenyapnya dan hilangnya kenikmatan. Juga tidak merasa sedih dan menyesal di balik apa yang telah ia infakkan atau yang hilang dari kenimatan itu. Sang Pemberi nikmat itu jelas ada; dan dengan bersyukur kepada-Nya, maka kenikmatan akan menjadi bersih dan semakin bertambah.
Copast by http://sister.imsa.us/index.php/en/artikel/dakwah/71/353-tafsir-qs-ibrahim-14-7-8
0 Comments