Berat, itulah kata yang bisa mewakili tantangan hidup kekinian. Orang
miskindihadang penyakit di sana-sini. Orang kaya alisnya dibikin
berkerut oleh berbagaimasalah. Sebagian malah sudah dipenjara, sebagian
lagi menuggu giliran untukberistirahat di tempat yang sama. Manusia
biasa menggendong berbagai beban kesana ke mari (dari mencari nafkah,
menyekolahkan anak sampai dengan mempersiapkan hari tua), pejabat maupun
pengusaha juga serupa: senantiasa ditemani masalah kemanapun ia pergi.
Di desa banyak orang mengeluh, luas tanah tetap namun jumlah manusia
senantiasa tambah banyak. Sehingga setiap tahun memunculkan tantangan
penciptaan lapangan kerja. Bila tidak terselesaikan ia bisa lari
kemana-mana. Dari kejahatan sampai dengan kekerasan.
Digabung menjadi satu, jadilah kehidupan berwajah serba berat di
sana-sini. Tidak saja di negara berkembang, di negara maju sekali pun
tantangannya serupa.Kemajuan ekonomi Jepang yang demikian fantastis
tidak bisa mengerem angka bunuh diri. Kemajuan peradaban Amerika tidak
membuat negara ini berhenti menjadi konsumen obat tidur per kapita
paling tinggi di dunia. Jangankan berbicara negeri Afrika seperti
Botswana. Rata-rata harapan hidup hanya 30-an tahun. Orang dewasa di
sana lebih dari 80 persen positif terjangkit HIV. Sehingga menimbulkan
pertanyaan,"Demikian beratkah beban manusia untuk hidup?"Ada sahabat
yang menghubungkan beratnya hidup manusia dengan hukum gravitasinya
Newton yang berpengaruh itu. Sudah menjadi pengetahuan publik,kalau
Newton menemukan hukum ini ketika duduk di bawah pohon apel, dan
tiba-tiba buahnya jatuh.Sehingga Newton muda berspekulasi ketika itu,
ada serangkaian hukum berat (baca:gravitasi) yang membuat semua benda
jatuh ke bawah.
Sahabat ini bertanya lebih dalam, "kalau gravitasi yang menarik apel
jatuh ke bawah, lantas hukum apa yang membawanya naik ke puncak pohon
apel?" Dengan jernih ia menyebut "The law of levitation" (hukum
penguapan). Kalau gravitasi menarik apel ke bawah, penguapan menariknya
ke arah atas. Dalam bahasa yang lugas sekaligus cerdas, sahabat ini
mengaitkan kedua hukum fisika ini ke dalam dua hukum kehidupan: "Hate is under the law of gravity, love isunder the law of levitation."
Kebencian berkait erat dengan gravitasi karena mudah sekali membuat
manusia hidup serba berat dan ditarik ke bawah. Cinta berkaitandengan
gerakan-gerakan ke atas. Karena hanya cinta yang membuat manusiaringan
dan terbang ke atas.
Sungguh sebuah bahan renungan kehidupan yang cerdas dan bernas. Kembali
ke soal hidup manusia yang serba berat, tidak ada manusia yang bebas
sepenuhnya dari masalah. Bahkan ada yang menyederhanakan kehidupan
dengan sebuah kata: penderitaan! Hanya saja kebencian berlebihan yang
membuat semua ini menjadi semakin berat dan semakin berat lagi. Ada yang
benci pada diri sendiri,ada yang membenci orang tua, suami, istri,
teman, tetangga, atasan kerja, sampai dengan ada yang membenci Tuhan.
Perhatikan wajah-wajah manusia kekinian yang miskin senyum, yang mudah
tersinggung, yang senantiasa minta diperhatikan, penerimaan bulanan yang
serba kurang, dan masih bisa ditambah lagi dengan yang lain. Semuanya
berakar pada yang satu: kebencian! Sehingga mudah dimengerti kalau
perjalanan hidup seperti buah apel, semakin tua semakin berat dan
semakin ditarik ke bawah.
Terinspirasi dari sinilah, kemudian sejumlah guru mengurangi sesedikit
mungkin berjalan dalam hidup dengan beban-beban kebencian. Dan mencoba
menarik kehidupan ke atas menggunakan sayap-sayap cinta. Semua
perjalanan cinta mulai dari sini: mencintai kehidupan. Makanya
sahabat-sahabat penekun meditasi Vipasana berkonsentrasi pada keluar
masuknya nafas. Tidak saja karena membuatmanusia mudah terhubung dengan
hidup, tetapi berpelukan penuh cinta dengankehidupan. Dan segelintir
penekun Vipasana yang telah berjalan amat jauh,kemudian mengalami cosmic
orgasm.
Semacam orgasme kosmik yang ditandai oleh terlihatnya keindahan di
mana-mana. Karena semuanya terlihat serba indah, tidakada lagi dorongan
untuk mencari jawaban. Bahkan pertanyaan sekalipun sudah lenyap dari
kepala. Ini yang disebut seorang guru dengan terbang bersama keheningan.
Ada yang menyebut ini dengan emptiness. Sebuah terminologi timur yang amat susah untuk dijelaskan dengan kata-kata manusia. Namun Dainin Katagiri dalam Returning to Silence, menyebutkan: "The final goal is that we should not beobsessed with the result, whether good, bad or neutral.
" Keseluruhan upaya untuktidak terikat dengan hasil. Itulah
keheningan. Sehingga yang tersisa persis sepertihukum alam: kerja, kerja
dan kerja. Dalam kerja seperti ini, manusia seperti matahari.Ditunggu
tidak ditunggu, besok pagi ia terbit. Ada awan tidak ada awan,
mataharitetap bersinar. Disukai atau dibenci, sore hari dimana pun ia
akan terbenam.Mirip dengan matahari yang tugasnya berbeda dengan awan
dan bintang. Kitamanusia juga serupa. Pengusaha bekerja di perusahaan.
Penguasa bekerja dipemerintahan. Pekerja bekerja di tempat
masing-masing. Penulis menulis. Pertapabertapa. Pencinta yoga beryoga.
Pengagum meditasi bermeditasi. Semuanya adatempatnya masing-masing. Ada
satu hal yang sama di antara mereka: "Menjadisemakin sempurna di jalan
kerja". Soal hasil, sudah ada kekuatan amat sempurnayang sudah
mengaturnya. Keinginan apalagi kebencian, hanya akan membuatnya jadi
berat dan terlempar ke bawah.
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo