Rumah tangga adalah suatu tatanan masyarakat terkecil, dan dari rumah tanggalah suatu tatanan masyarakat terbentuk. Keberhasilan suatu masyarakat atau kegagalannya dimulai dari keberhasilan dan kegagalan anggotanya dalam menjalankan roda kehidupan dalam rumah tangga. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap rumah tangga minimal terdiri dari suami dan istri.
Oleh karena itu syari’at Al Qur’an memberikan perhatian besar kepada hubungan antara suami dan istrinya, sampai-sampai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjadikan baik dan buruknya hubungan seseorang dengan istrinya sebagai standar kepribadian seseorang,
“Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Diantara syari’at Al Qur’an yang mengajarkan tentang metode hubungan suami istri yang baik ialah yang disebutkan dalam hadits berikut,
“Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyebutkan contoh nyata, beliau berkata, “Tidaklah layak bagi seorang mukmin (suami yang beriman) untuk membenci seorang mukminah (istrinya yang beriman), bila ia mendapatkan padanya suatu perangai yang ia benci, niscaya ia mendapatkan padanya perangai lainnya yang ia sukai, misalnya bila istrinya tesebut berakhlak pemarah, akan tetapi mungkin saja ia adalah wanita yang taat beragama, atau cantik, atau pandai menjaga kehormatan dirinya, atau sayang kepadanya atau yang serupa dengan itu.” (Syarah Muslim Oleh Imam An Nawawi 10/58).
Diantara wujud nyata keindahan syari’at Al Qur’an dalam membina rumah tangga, ialah diwajibkannya seorang suami untuk menunaikan tanggung jawabnya secara penuh, tanpa terkurangi sedikitpun. Mari kita bersama-sama merenungkan kisah berikut,
“Dari Wahb bin Jabr, ia menuturkan, Sesungguhnya salah seorang budak milik Abdullah bin Amr pernah berkata kepadanya, Sesungguhnya aku berencana untuk tinggal selama satu bulan ini di sini di Baitul Maqdis. Maka Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash bertanya kepadanya, Apakah engkau telah meninggalkan untuk keluargamu bekal yang dapat mereka makan selama satu bulan ini? Ia menjawab, Tidak. Abdullah bin Amr berkata kepadanya, Maka kembalilah ke keluargamu, lalu tinggalkan untuk mereka bekalnya, karena aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Cukuplah sebagi dosa seseorang (yang akan mencelakakannya-pen) bila ia menyia-nyiakan orang-orang yang wajib ia nafkahi.” (HR. Ahmad, dan Al Baihaqi dan hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim tanpa menyebutkan kisah sebelumnya)
Sebaliknya syari’at Al Qur’an juga mewajibkan atas kaum istri untuk senantiasa taat kepada suaminya, selama mereka tidak memerintahkannya dengan kemaksiatan. Agar kita dapat sedikit mengetahui betapa besar perhatian Islam dalam memerintahkan kaum istri untuk mentaati suaminya, maka marilah kita bersama-sama merenungkan dua hadits berikut,
“Seandainya aku diizinkan untuk memerintahkan seseorang agar bersujud kepada orang lain, niscaya aku akanperintahkan kaum istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At Tirmizi, dan Ibnu Majah)
Dan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wasallam,
“Bila seorang wanita telah menunaikan sholat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga kesucian farjinya, dan mentaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya, Masuklah ke surga dari delapan pintu surga yang manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani)
Pada hadits ini Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan suatu pelajaran penting kepada kaum istri agar hubungannya dengan suaminya bukan hanya di dasari oleh rasa cinta semata. Akan tetapi lebih dari itu semua, ketaatannya kepada suami adalah salah satu bagian dari ibadahnya, dan salah satu ibadah yang amat agung, sampai-sampai disejajarkan dengan sholat lima waktu, dan puasa bulan Ramadhan. Sehingga dengan cara demikian, ketaatan dan kesetiaan kaum istri akan kekal hingga akhir hayatnya, dan tidak mudah luntur oleh berbagai badai yang menerpa bahtera rumah tangganya.
Hal ini tentu berbeda dengan kaum istri yang hanya mengandalkan rasa cintanya, ia akan mudah terhanyutkan oleh godaan dan badai kehidupan, sehingga tatkala ia menghadapi kesusahan atau godaan setan walau hanya sedikit, dengan mudah tergoyahkan. Dari sini kita dapat mengetahui alasan mengapa banyak kaum istri yang dengan mudah melawan suaminya, tidak taat kepadanya, dan bahkan berbuat serong dengan pria lain. Ini semua karena rasa cintanya telah luntur, atau mulai luntur oleh godaan ketampanan, atau jabatan atau harta dan yang serupa.
Dari lain sisi, syari’at Al Qur’an juga membentengi kaum suami agar dapat tetap istiqomah menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, yaitu dengan menjadikan segala tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga kesetiaannya dan kewajibannya tidak mudah luntur atau lengkang karena terpaan masa atau godaan hijaunya rumput tetangga atau kawan sejawat dll.
“Sesungguhnya bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Dan sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah yang engkau mengharap dengannya keridhaan Allah, melainkan engkau akan diberi pahala karenanya, sampaipun suapan makanan yang egkau suapkan ke mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan lebih spesifik Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjadikan hubungan sebadan dengan istri sebagai salah satu amal shalih, sebagaimana beliau tegaskan dalam sabdanya berikut ini,
“Dan hubungan sebadanmu dengan istrimu adalah sedekah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya, kemudian ia dengannya mendapatkan pahala ? Beliau menjawab: bagaimana pendapat kalian, bila ia melampiaskan syahwatnya pada perbuatan yang haram, bukankah ia dengannya akan mendapatkan dosa? Demikian juga bila ia melampiaskannya pada tempat yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi menjelaskan hadits ini dengan berkata, “Pada hadits ini terdapat petunjuk bahwa perbuatan mubah akan menjadi amal ketaatan karena niat yang tulus. Hubungan sebadan akan menjadi ibadah bila pelakunya meniatkkan dengannya untuk memenuhi kebutuhan istri atau menggaulinya dengan cara-cara yang baik sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, atau untuk mencari keturunan yang shalih atau untuk menjaga dirinya atau menjaga istrinya atau keduanya dari memandang kepada yang diharamkan atau memikirkannya atau menginginkannya atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.” (Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi 7/92).