PERAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)
DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
SUATU PEMIKIRAN
oleh : Windowsbie7
Abstrak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu faktor penting dalam pendidikan di Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada tahun 2010 Pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Pendidikan Indonesia memulai wacana tentang Pendidikan Berbasis Karakter. Dalam pidatonya pada Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2011 yang lalu, Menteri Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa mulai tahun ajaran 2011/2012 pendidikan berbasis karakter akan dijadikan gerakan nasional, mulai dari PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya pendidikan Nonformal dan Informal. Pelaksanaan Pendidikan Berbasis Karakter pada PAUD, terutama pada jalur formal, tentunya mempunyai hambatan tersendiri antara lain keadaan ekonomi orang tua, kondisi geografis, ketersediaan lembaga PAUD, latar belakang tenaga endidik dan informasi yang terbatas. Maka dari itu, artikel ini bertujuan untuk melihat hambatan-hambatan apa saja yang mungkin akan dihadapi dalam penerapan Pendidikan Berbasis Karakter pada tingkat PAUD dan memberikan rekomendasi metode pembelajaran yang sesuai menurut beberapa sumber buku maupun artikel lain.
Kata Kunci : pendidikan anak usia dini, pendidikan berbasis karakter, metode belajar PAUD,
metode belajar berkarakter, pendidikan holistik.
1. LATAR BELAKANG
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu faktor penting dalam pendidikan di Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan dinaikkannya anggaran dana pendidikan pada tahun 2009 oleh pemrintah, hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia menyadari betul pentingnya pendidikan di Indonesia.
PAUD di Indonesia dibagi menjadi beberapa jalur menurut Pasal 28 Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat tiga jalur PAUD yaitu (1) Jalur pendidikan formal yaitu berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Atfhal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (2) jalur pendidikan nonformal yaitu dapat berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; (3) jalur pendidikan informal yaitu berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselanggarakan oleh lingkungan.
Pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam menyikapi perkembangan aktual terhadap munculnya perilaku destruktif, anarkis dan radikalis. Untuk itu para pemangku pendidikan, terutama Kepala Sekolah, Guru, Pemimpin Perguruan Tinggi dan dosen harus memberikan perhatian dan pendampingan lebih besar kepada peserta didik membentuk dan menumbuhkan pola pikir dan prilaku yang berbasis kasih sayang, toleran terhadap realitas keanekaragaman yang di benarkan oleh peraturan dan perundangan.
Maka dari itu pada tahun 2010 pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Pendidikan Indonesia memulai wacana tentang Pendidikan Berbasis Karakter. Dalam pidatonya pada Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2011 yang lalu, Menteri Pendidikan Indonesia, Bapak Moh. Nuhmenyatakan bahwa
mulai tahun ajaran 2011/2012 pendidikan berbasis karakter akan dijadikan gerakan nasional, mulai dari PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, termasuk didalamnya pendidikan Nonformal dan Informal. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka artikel ini fokus dalam melihat peran PAUD
dalam mendukung program pemerintah tersebut. Artikel ini juga bertujuan untuk melihat hambatan–hambatan apa saja yang mungkin akan dihadapi dalam penerapan Pendidikan Berbasis Karakter pada tingkat PAUD dan memberikan rekomendasi metode pembelajaran yang sesuai menurut beberapa sumber buku maupun artikel lain. Diharapkan melalui artikel ini dapat dilihat bahwa pencanangan pendidikan berbasis karakter oleh pemerintah dapat
dilaksanakan secara efektif dan menyeluruh.
2. PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
Menurut Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berfungsi (1) Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
; (2) Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sohan Modgil, etc dalam bukunya Multicultural Education : The Interminable Debate (1986) menyatakan bahwa hasil yang diinginkan dalam suatu Pendidikan adalah :
1. Manusia yang kritis, imajinatif, self criticsm, mampu mengungkapkan pendapat mampu berargumen, mampu mengumpulkan bukti yang kuat dan membuat kesimpulan,
2. Suatu hari dapat menjadi manusia yang berpendirian kuat dan hidup sebagai manusia bebas. Bebas disini mempunyai arti bebas dari ketidakpedulian, dogma, prasangka dan pada akhirnya bisa bebas memilih kepercayaan dan dapat merencanakan hidupnya,
3. Meningkatkan kualitas intelektual dan moral, keterbukaan pada dunia, bersikap objektivitas, keingintahuan akan ilmu, kemanusiaan dan pada akhirnya menghormati dan peduli pada sesama,
4. Bertujuan untuk mensosialisasikan peserta didik kepada intelektual yang lebih luas, moral, agama, dan pencapaian lain dalam diri manusia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia, dalam hal ini khususnya Menteri Pendidikan Indonesia mencanangkan pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai tahun ajaran 2011/2012. Pendidikan berkarakter ini dinilai penting dimulai sejak dini karena merekalah nantinya yang akan melanjutkan pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
3. PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)
Menurut Pasal 28 Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : (1) PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan/atau informal; (3) PAUD pada jalur jalur pendidikan formal yaitu berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Atfhal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) PAUD pada jalur pendidikan nonformal yaitu dapat berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; (5) PAUD pada jalur pendidikan informal yaitu berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselanggarakan oleh lingkungan.
Tujuan utama PAUD adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sedini mungkin baik pada aspek fisik, psikis dan sosial secara menyeluruh (Supriadi dalam Agung, 2010). Pembelajaran pada PAUD didasarkan atas sejumlah prinsip, yaitu : (1) didasarkan atas perkembangan anak; (2) belajar sambil bermain; (3) dilaksanakan dalam lingkungan yang kondusif dan inovatif; (4) dilaksanakan dengan pendekatan tematik dan terpadu; serta (5) diarahkan pada pengembangan potensi kecerdasan secara menyeluruh dan terpadu (Iskandar Agung, 2010). Pendidik pada kelembagaan PAUD, menurut Undang–Undang no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, haruslah berpendidikan minimal S1/D4.
4. HAMBATAN DALAM PENYELENGGARAAN PAUD BERBASIS KARAKTER
4.1 Pendidikan Anak Usia Dini Pada Jalur Formal dan Nonformal Kebijakan pemerintah dalam mencanangkan Pendidikan Berbasis Karakter sebagai
gerakan nasional tentunya perlu mendapat perhatian khusus. Dalam pidatonya pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2011 yang lalu, Menteri Pendidikan Nasional Bapak Moh. Nuh menyatakan bahwa kita harus mulai memberikan perhatian khusus pada PAUD karena merekalah yang nantinya akan melanjutkan pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Kondisi tumbuh kembang anak yang baik akan berpengaruh pada kualitas manusia (anak) di kemudian hari. Riset atas perkembangan anak dan hasil pendidikan menunjukkan keuntungan jangka panjang dan jangka pendek dari PAUD (Barnett, S.W 1992; Hart dan Schumacher, 2004; Shore, 1997 dalam Agung, 2010). Keuntungan jangka pendek PAUD adalah peningkatan aspek kecerdasan anak, sedangkan keuntungan jangka panjang adalah peningkatan angka penyelesaian sekolah (Agung, 2010). Penyelanggaran PAUD di Indonesia masih menemui beberapa hambatan, salah satunya adalah tingkat partisipasi masyarakat yang masih rendah. Berdasarkan data
pada tahun 2009, dari 28.6 juta anak berusia 0-6 tahun, 15.3 juta anak sudah terlayani PAUD baik formal mau pun nonformal. Hasil ini walaupun meningkat dari tahun–tahun sebelumnya, tetap saja memprihatinkan, karena jika mengacu pada Pembukaan Undang–Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, berarti negara harus berupaya memberikan dan menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh anak Indonesia tanpa kecuali. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menyertakan anaknya mengikuti PAUD formal ataupun nonformal tentu saja disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
1. Kemampuan Ekonomi Orang Tua
Sebagian besar lembaga PAUD, baik formal maupun nonformal, yang ada di Indonesia diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk sebuah yayasan. Oleh karena itu biaya pendidikannya tentu saja dibebankan kepada orang tua dan karena kebutuhan biaya yang besar itulah maka banyak orang tua memutuskan untuk tidak mengikutsertakan anaknya kedalam lembaga PAUD tersebut. Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia agar dapat memastikan pemerataan dan perluasan pendidikan, khususnya PAUD, sehingga semua anak Indonesia dapat menikmati pendidikan sejak usia dini.
2. Kondisi Geografis.
Kondisi geografis yang kurang mendukung pemberian kesempatan memperoleh pendidikan seorang anakadalah jarak dan waktu tempuh
dari rumah ke sekolah. Waktu tempuh dipengaruhi oleh jarak tempuh dan ketersediaan sarana transportasi (Balitbang, 2002). Pada kasus PAUD, dikarenakan peserta didiknya berusia 0–6 tahun, maka lokasi lembaga PAUD terkait menjadi sangat penting bagi orang tua yang ini mengikutsertakan anak–anaknya. Jarak tempuh yang jauh dan minimnya sarana transportasi tentu saja menyulitkan terutama bagi orang tua bekerja.
3.Motivasi Orang Tua.
Motivasi dapat diartikan sebagai keinginan atau dorongan
(Balitbang, 2002). Hambatan ini biasanya kita jumpai di daerah pedesaan dimana masyarakat di pedesaan masih memiliki anggapan bahwa a
naknya tidak perlu disekolahkan sampai ke perguruan tinggi, apalagi dimulai dari TK/RA. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana nantinya anak mereka dapat membantu perekonomian keluarga. Hal ini juga terkait dengan pemahaman masyarakat bahwa sekolah yang wajib hanyalah SD sampai dengan SMP sesuai dengan program Wajib Belajar 9 Tahun dari pemerintah. Maka dari itu perlu adanya sosialisasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, akan pentingnya pendidikan anak usia dini kepada seluruh lapisan masyarakat.
4. Ketersediaan Lembaga PAUD.
Poin ini sangat erat kaitannya dengan poin 2 sebelumnya. Sebagian besar Lembaga PAUD baik formal maupun nonformal hanya berada di kota–kota besar sehingga bagi orang tua yang lokasi tempat tinggalnya jauh dari tempat penyelenggaraan PAUD tersebut mengurungkan niatnya untuk mengikutsertakan anaknya. Selain itu, rasio antara jumlah penduduk, dalam hal ini anak usia 0–6 tahun, yang tidak sebanding dengan jumlah lembaga PAUD yang tersedia di suatu daerah juga merupakan hambatan dalam pelaksanaan PAUD.
Pada poin ini dapat kita simpulkan pentingnya pemerataan pendidikan oleh pemerintah. Pemerataan pendidikan memiliki arti pemberian kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan pada usia dini baik secara formal ataupun nonformal. Salah satu indikator yang menunjukkan pemerataan kesempatan pendidikan ini adalah Angka Partisipasi, yaitu rasio antara jumlah penduduk dengan jumlah penduduk usia sekolah yang dalam PAUD berarti usia 0–6 tahun Dari sisi tenaga pendidik, pendidik pada lembaga PAUD terutama pada jalur formal masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Pusat Statistik Pendidikan tahun 2009/2010, dari total 276.835 orang guru dan kepala sekolah pada tingkat TK, hampir 80% atau 237.446 di antaranya
berlatarbelakang pendidikan dibawah S1 sedangkan Undang–Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan minimal S1/D4. Sebagian besar pendidik di TK/RA berlatarbelakang pendidikan SPG/SLTA keguruan. Selain dilihat dari segi latarbelakang pendidikan,
tenaga pendidik PAUD tentu harus dilihat kompetensinya dalam menghadapi anak–anak usia 0–6 tahun.
Penanganan anak usia 0–6 tahun tentunya jauh berbeda dengan anak 7 tahun ke atas. Maka dari itu perlunya perhatian pemerintah untuk meningkatkan kompetensi tenaga–tenaga pendidik PAUD dengan diselenggarakannya pelatihan–pelatihan ataupun seminar-seminar. Hal lain yang juga dapat menghambat penerapan Pendidikan Berbasis Karakter pada PAUD adalah dalam metode pembelajaran di lembaga–lembaga PAUD tersebut. Sampai saat ini masih belum ada standar resmi yang ditetapkan pemerintah mengenai kurikulum ataupun metode pembelajaran untuk PAUD. Masing–masing lembaga PAUD dapat menentukan sendiri metode pembelajaran dan kurikulumnya. Menurut Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year, saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu yang dikutip oleh http://www.kompas.com, menyatakan bahwa pada taraf PAUD anak–anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar dan pondasinya. Metodenya tentu saja dengan cara belajar sambil bermain. Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. Kelas haruslah berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran.
Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar. Lewat bermain yang iarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa. Dengan metode pembelajaran yang tepat, yaitu melakukan pembelajaran sesuai dengan
kapasitas anak usia dini, maka pendidikan berbasis karakter akan efektif dilakukan dan hasilnya diharapkan menjadi bekal bagi mereka ketika masuk sekolah dasar bahkan pada pendidikan yang lebih tinggi.
4.2 Pendidikan Anak Usia Dini Pada Jalur Informal.
PAUD pada jalur informal berbentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga ataupun oleh lingkungan. Anak usia 0–6 tahun biasanya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua mereka di rumah dan orang–orang terdekat dilingkungannya. Oleh karena itu, PAUD pada jalur informal ini memiliki peran yang jauh lebih penting karena pada kenyataannya pendidikan karakter seorang anak dimulai dari dalam keluarga. PAUD pada jalur informal ini terbentuk ketika para orang tua mengalami hambatan dalam mengikutsertakan anaknya ke lembaga–lembaga PAUD formal maupun nonformal yang tersedia. Sehingga para orang tua memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah sebagai bekal mereka memasuki sekolah dasar nantinya. Hambatan yang ada dalam PAUD informal ini adalah kurangnya informasi yang didapat oleh para orang tua tentang apa itu pendidikan berbasis karakter yang mulai dicanangkan oleh pemerintah terurtama bagi para orang tua yang tinggal di pedesaan. Tidak ada kurikulum khusus yang mengatur PAUD pada jalur informal ini, terutama dalam pendidikan berbasis karakter. Sehingga para orang tua biasanya hanya melakukan yang biasa dilakukan oleh para orang tua pada umumnya. Misal, untuk membuat anak tersebut berempati pada orang lain, orang tua hanya perlu mencontohkannya sehingga anak bisa melihat dan meniru yang dilakukan orang tua tersebut. Hambatan lainnya adalah masalah tradisi dan adat istiadat. Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan adat istiadatnya. Masing–masing daerah di Indonesia mempunyai aturan dan prinsip–prinsip tersendiri dalam hal mengasuh anak. Sehingga jika ingin Pendidikan Berbasis Karakter ini dijadikan gerakan nasional, maka perlu disesuaikan dengan adat istiadat masing–masing daerah.
Yang penting untuk selalu ditanyakan oleh orang tua adalah 5W1H, yaitu :
1. What.
Contohnya, apakah pendidikan berbasis karakter itu? Hasil apa yang diinginkan oleh pemerintah dengan pencanangan pendidikan berbasis karakter?
2. When.
Kapan harus dimulai pendidikan karakter ini?
3. Where.
Dimana seorang anak dapat mengikuti pendidikan yang mendukung program pemerintah tersebut?
4. Why.
Mengapa pendidikan berbasis karakter ini menjadi penting sehingga dijadikan sebagai gerakan nasional?
5. Who.
Siapa saja yang dapat menyelenggarakan program ini? Siapa saja sasarannya?
6. How.
Bagaimana cara kita, khususnya orang tua yang tidak mengikutkan anaknya ke dalam lembaga PAUD, dapat ikut mendukung program pemerintah tersebut? Bagaimanakah metode yang efektif utnuk membentuk karakter seorang anak sehingga dapat mencapai tujuan dan hasil yang sama dengan yang dicanangkan oleh pemerintah.
5. REKOMENDASI METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BERBASIS
KARAKTER PADA PAUD.
Sampai saat ini PAUD pada jalur formal dan nonformal belum mempunyai kurikulum tetap yang ditetapkan oleh pemerintah. Maka dari itu masing–masing lembaga PAUD harus menyusun dengan baik metode pembelajaran yang efektif supaya pendidikan berbasis karakter ini dapat tersampaikan dengan baik. Beberapa artikel ataupun penelitian telah memberikan banyak rekomendasi tentang metode pembalajaran yang efektif terkait pendidikan berbasis karakter ini. UNESCO salah satunya, menerbitkan buku tentang pembelajaran yang dapat moulding the mind and character young generation. Metode pembelajaran yang dimaksud adalah :
1. Learning To Know,
yaitu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh
pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk selalu mencari jawab atas masalah yang dihadapi. Hasil yang diharapkan adalah menciptakan peserta didik yang memiliki rasa joy of discovery
. Untuk menerapkan proses belajar seperti ini diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, guru yang profesional, dan sistem evaluasi yang terus menerus. Pada PAUD jalur informal, proses pembelajaran ini bisa dilakukan dengan cara membacakan buku cerita atau mengajak anak berkunju
ng ke tempat–tempat yang berkaitan dengan pendidikan, tentunya proses ini harus dijalankan secara konsisten.
2.Learning To Do.
Pada proses belajar ini, sasaran akhir yang diinginkan adalah generasi muda yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan
IPTEK. Proses belajar seperti ini memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk dipecahkan. Seperti misalnya bekerja secara berkelompok. Orang tua dapat pula menerapkan proses pembelajaran ini dengan cara mengajak serta anak ketika akan berkebun atau mengerjakan pekerjaan rumah.
3. Learning To Live Together.
Ketidakharmonisan antar umat manusia yang sering terjadi akhir–akhir ini di Indonesia membuat proses pembelajaran ini menjadi sangat penting. Hasil yang diinginkan pada proses ini adah menciptakan manusia yang tidak hanya bisa bekerja serta memecahkan masalah, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain dengan penuh toleransi, pengertian dan tanpa prasangka. Proses pembelajaran seperti ini perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama.
4. Learning To Be.
Proses pembelajaran ini merupakan hasil akhir dari ketiga proses yang sebelumnya. Diharapkan ketika ketiga proses yang sebelumnya dapat
terlaksana dengan baik dan juga mencapai hasil yang diinginkan, maka pada akhirnya akan tercipta manusia yang mempunyai kepribadian mantap dan mandiri. Proses–proses pembelajaran di atas dapat terlaksana dengan baik tentu saja tidak lepas dari peran pendidiknya, dalam hal ini adalah guru dan orang tua. Dalam hal menanamkan karakter kepada anak–anak usia dini tentunya perlu penanganan yang tidak biasa seperti menangani anak–anak usia sekolah dasar atau lebih tinggi. Para pendidik dianjurkan untuk bisa mengasah kreativitasnya dalam melakukan metode pembelajaran. Kreativitas yang dimaksud di sini adalah kemampuan pendidik dalam meninggalkan gagasan, ide–ide, hal-hal yang dinilai mapan, rutinitas, usang, dan beralih untuk menghasilkan atau memunculkan gagasan, ide–ide, dan tindakan yang baru dan menarik, apakah itu utnuk pemecahan suatu masalah, suatu metode atau alat, suatu obyek atau bentuk artistik yang baru, dan lain–lainnya. Kemampuan menghasilkan atau memunculkan gagasan, ide–ide baru itu terwujud ke dalam pola perilaku yang dinilai kreatif pula (Agung, 2007). Kreativitas para pendidik pada PAUD dianggap perlu dan penting dikarenakan anak–anak usia 0–6 tahun pada dasarnya masih senang bermain daripada harus belajar duduk di kelas dari pagi sampai siang. Maka dari itu, walaupun pendidik pada PAUD sudah memiliki kualifikasi pendidikan yang cukup dan dapat menguasai bahan ajaran yang ditentukan, tetapi kurang mampu mengemasnya dalam kegiatan belajar–mengajar kepada peserta didik, mengakibatkan peserta didik akan cepat bosan dan tentunya bahan ajaran yang disampaikan tidak akan diterima dengan baik oleh peserta didik. Pada PAUD, konsep utama dalam belajar mengajar adalah belajar sambil bermain. Maka pelaksanaan konsep belajar sambil bermain inilah yang memerlukan kretivitas pendidiknya.
Metode pembelajaran lainnya yang dapat dijadikan referensi adalah menyelenggarakan pendidikan alternatif seperti sekolah alam. Saat ini sudah banyak lembaga-lembaga PAUD, terutama lembaga PAUD formal, yang menerapkan konsep sekolah alam. Pada dasarnya sekolah alam ini memiliki keinginan untuk memperkenalkan kembali manusia kepada alamnya. Di sekolah alam ini, anak–anak akan diajarka untuk menghargai dan menghormati alam sekitarnya. Konsep belajar kepada alam ini tentu saja dapat membuat anak– anak lebih menghargai dan mempunyai rasa empati dan simpati terhadap makhluk hidup lainnya. Hal initentu saja sejalan dengan Pendidikan Berbasis Karakter yang dicanangkan oleh pemerintah.
Dalam sebuah artikel, Indonesia Heritage Foundation (IHF) juga merekomendasikan sebuah metode pembelajaran yang dapat mendukung program pendidikan berbasis karakter ini, yaitu Model Pendidikan Holistik. Model Pendidikan Holistik ini memfokuskan pada pembentukan 9 Pilar Karakter kepada para peserta didik. 9 Pilar Karakter yang dimaksud adalah
(1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya
(2) Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian
(3) Kejujuran/Amanah dan Arif
(4) Hormat dan Santun
(5) Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama
(6) Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras
(7) Kepemimpinan dan Keadilan
(8) Baik dan Rendah Hati
(9) Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan
Disamping 9 Pilar karakter di atas, IHF juga mengembangkan materi untuk mengajarkan kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan pada anak.
Metode yang digunakan disebut sebagai “Refleksi Rutin” atau Apperception. Setiap pagi anak-anak diminta untuk mengikuti kegiatan refleksi Pilar selama 15-20 menit sesuai dengan Pilar yang sedang diterapkan saat itu (Maryuni, 2011). Beberapa metode yang telah disebutkan di atas hanya merupakan sebuah referensi dari berbagai hasil penelitian dan buku. Pada PAUD tentu saja yang terutama adalah melakukan metode belajar mengajar yang mangacu pada kemampuan masing–masing anak. Dalam satu metode penerapannya tentu bisa berbeda tergantung dari pribadi anak masing–masing yang menjadi sasaran. Peran orang tua juga tidak kalah pentingnya, walaupun sudah diikutsertakan ke dalam lembaga PAUD baik formal maupun nonformal, karakter seorang anak tetap dibentuk dari keluarga sendiri.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
5.1.1
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan faktor penting dalam pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia, khususnya menteri Pendidikan Indonesia, mulai mencanangkan Pendidikan Berbasis Karakter sebagai gerakan Nasional yang dimulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi.
5.1.2
Menurut Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berfungsi (1) Mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (2) Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5.1.3
Menurut Pasal 28 Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : (1) PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan/atau informal; (3) PAUD pada jalur jalur pendidikan formal yaitu berbentuk Taman Kanak–Kanak (TK), Raudhatul Atfhal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) PAUD pada jalur pendidikan nonformal yaitu dapat berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; (5) PAUD pada jalur pendidikan informal yaitu berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselanggarakan oleh lingkungan.
5.1.4
Pelaksanaan Pendidikan Berbasis Karakter pada tingkat PAUD formal dan nonformal memiliki berbagai hambatan, di antaranya adalah tingkat
partisipasi masyarakat yang masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor ekonomi keluarga, kondisi geografis,
motivasi dari orang tua dan ketersediaan Lembaga PAUD baik formal maupun nonformal.
5.1.5
Hambatan lainnya dalam pelaksanaan Pendidikan Berbasis Karakter ini adalah dari segi tenaga pendidik. Dalam Undang–Undang no. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen mensyaratkan latar belakang pendidik minimal S1/D4. Namun pada kenyataannya, tenaga pendidik untuk PAUD pada jalur formal (TK/RA) sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan SPG/SLTA keguruan.
5.1.6
Dari segi metode belajar yang dilaksanakan oleh lembaga–lembaga PAUD formal dan nonformal juga dapat menjadi hambatan tersendiri. Metode
belajar pada tingkat PAUD yang diutamakan adalah belajar sambil bermain. Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat
bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. Kelas haruslah berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran.
5.1.7
Pada PAUD jalur informal, pelaksanaan Pendidikan Berbasis Karakter juga menemui berbagai hambatan. Hambatan yang paling utama adalah
kurangnya informasi yang didapat oleh para orang tua tentang betapa pentingnya pendidikan anak yang berbasis karakter.
5.1.8
Hambatan lainnya adalah masalah tradisi dan adat istiadat. Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan adat istiadatnya. Masing–masing daerah di Indonesia mempunyai aturan dan prinsip–prinsip tersendiri dalam hal mengasuh anak. Sehingga jika ingin Pendidikan Berbasis Karakter ini dijadikan gerakan nasional, maka perlu disesuaikan dengan adat istiadat masing–masing daerah.
5.1.9
Beberapa rekomendasi pembelajaran yang telah banyak diberikan melalui berbagai penelitian dan pendapat para ahli dapat digunakan sebagai bahan
acuan dalam Pendidikan Berbasis Karakter pada tingkat PAUD. UNESCO telah menerbitkan buku tentang pembelajaran yang dapat moulding the mind and character young generation.
Dalam buku tersebut dijelaskan metode pembelajaran yang efektif adalah
- Learning To Know, Learning To
- Do, Learning To Live Together, dan
- Learning To Be.
5.1.10
Indonesia Heritage Foundation (IHF)
merekomendasikan metode belajar
yang disebut
Model Pendidikan Holistik. Model Pendidikan Holistik ini
memfokuskan pada pembentukan 9 Pilar Karakter kepada para peserta
didik. 9 Pilar Karakter yang dimaksud adalah:
(1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya
(2) Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian
(3) Kejujuran/Amanah dan Arif
(4) Hormat dan Santun
(5) Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama
(6) Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras
(7) Kepemimpinan dan Keadilan
(8) Baik dan Rendah Hati
(9) Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan
Disamping 9 Pilar karakter di atas, IHF juga mengembangkan materi untuk mengajarkan kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan pada anak.
Metode yang digunakan disebut sebagai “Refleksi Rutin” atau Apperception. Setiap pagi anak-anak diminta untuk mengikuti kegiatan refleksi Pilar selama 15-20 menit sesuai dengan Pilar yang sedang diterapkan saat itu (Maryuni, 2011).
5.1.11
Metode pembelajaran lainnya yang dapat dijadikan referensi adalah menyelenggarakan pendidikan alternatif seperti sekolah alam. Saat ini
sudah banyak lembaga–lembaga PAUD, terutama lembaga PAUD formal, yang menerapkan konsep sekolah alam. Pada dasarnya sekolah alam ini
memiliki keinginan untuk memperkenalkan kembali manusia kepada alamnya. Di sekolah alam ini, anak–anak akan diajarka untuk menghargai
dan menghormati alam sekitarnya. Konsep belajar kepada alam ini tentu saja dapat membuat anak–anak lebih menghargai dan mempunyai rasa
empati dan simpati terhadap makhluk hidup lainnya.
5.1.12
Selain metode pembelajaran yang baik, Pendidikan Berbasis Karakter perlu didukung oleh kreativitas dari tenaga pendidik dalam mengemas metode
– metode tersebut menjadi sistem belajar mengajar yang efektif. Kreativitas yang dimaksud di sini adalah kemampuan pendidik dalam meninggalkan
gagasan, ide–ide, hal–hal yang dinilai mapan, rutinitas, usang, dan beralih untuk menghasilkan atau memunculkan gagasan, ide–ide, dan tindakan yang baru dan menarik, apakah itu utnuk pemecahan suatu masalah, suatu metode atau alat, suatu obyek atau bentuk artistik yang baru, dan lain–lainnya
5.2 SARAN
Sesuai dengan pencanangan yang telah dilakukan oleh pemerintah, yaitu Pendidikan Berbasis Karakter sebagai Gerakan Nasional yang akan dimulai dari tingkat PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, maka dapat kita simpulkan bahwa PAUD memiliki faktor yang penting dalam membentuk karakter anak.
Dari berbagai hambatan yang telah diuraikan, maka disarankan berbagai langkah
sebagai berikut :
5.2.1
Perlu adanya pemerataan pendidikan, khususnya pada tingkat PAUD formal dan nonformal sehingga seluruh anak di Indonesia usia 0–6 tahun dapat merasakan PAUD pada jalur formal maupun nonformal. Pemerataan pendidikan yang dimaksud adalah memperbanyak lembaga PAUD formal dan nonformal.
5.2.2
Perlu sosialisasi yang menyeluruh, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, mengenai apa itu Pendidikan Berbasis Karakter,
bagaimana anak–anak mendapatkannya, dan sebagainya.
5.2.3
Peningkatan kualitas tenaga pendidik PAUD pada tingkat formal dan nonformal melalui pelatihan–pelatihan dan seminar–seminar.
Pelatihan–pelatihan yang dilakukan juga harus menyeluruh dan dapat langsung dipraktekan (tidak hanya berupa materi saja).
5.2.4
Jika memungkinkan, PAUD dapat dijadikan pendidikan wajib seperti SD dan SMP untuk menunjang pemerataan PAUD di Indonesia.
5.2.5
Perlu adanya kurikulum yang tetap untuk PAUD sehingga dapat diterapkan menyeluruh oleh lembaga–lembaga PAUD formal di Indonesia. Kurikulum ini tentu harus disesuaikan dengan keadaan masing–masing daerah terkait dengan keragaman adat istiadat yang berbeda di Indonesia.
5.2.6
Adanya pengalokasian dana oleh pemerintah untuk PAUD dalam hal memberikan fasilitas belajar dan bermain untuk PAUD.
Daftar Pustaka
:: Agung, I. 2010. Perluasan Wajib Belajar 12 Tahun : Suatu Pemikiran. Jurnal Penelitian
Kebijakan Pendidikan : 119–135 Agung, I dan Drs. Suharjono, MM
:: 2007. Inventarisasi dan Kajian Inovasi Pendidikan : Penyelenggaraan Pendidikan Alternatif (Sekolah Alam dan SMP Alternatif). Pusat
Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Kemdiknas : Jakarta
:: Agung, I dan Drs. Suharjono, MM. 2007. Kreativitas Pembelajaran di Jenjang Dikdas.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Kemdiknas : Jakarta
:: http://female.kompas.com/read/2011/02/12/19564528/Ada.Apa.dengan.Pendidikan.Anak
.Usia.Dini.di.Indonesia. diakses 1 Juni 2011
:: http://female.kompas.com/read/2009/05/15/20340696/Fokuskan.Pendidikan.Usia.Dini.ke
.Anak.Usia.0-6.Tahun. diakses 1 Juni 2011
:: http://female.kompas.com/read/2011/02/13/05354263/Mengapa.Pendidikan.Anak.Usia.D
ini.Penting. diakses 1 Juni 2011
:: Indonesia Heritage Foundation, Model Pendidikan Holistik. Tersedia : http://
ihf-org.tripod.com
. Diakses 1 Juni 2011
:: Pusat Statistik Pendidikan. 2010. Statistik Pendidikan Nonformal.
Kemdiknas : Jakarta
:: Pusat Statistik Pendidikan. 2010. Statistik Pendidikan TK.
Kemdiknas : Jakarta
:: Yendri, W, Nur Berlian
dan LH. Winingsih. 2007. Pemerataan dan Perluasan Akses
Pendidikan. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Kemdiknas :
Jakarta